Sabtu, 26 Oktober 2013

The Story of A x A


Sebuah kisah yang anonim dan ambigu...


source


Manusia normal itu bagaikan magnet yang terbagi menjadi dua jenis kutub, kutub positif dan kutub negatif. Kutub positif pasti akan tertarik dengan kutub negatif, bukan? Aku dapat menganalogikan diriku sebagai sebuah magnet yang aneh, yang tidak tertarik pada kutub yang berbeda. Ya, diriku ini entah kenapa bisa tertarik pada kutub yang sama. Padahal, biasanya aku tertarik pada kutub yang berbeda selayaknya seorang manusia normal.

Awal bulan September. Aku ingat, sebuah peristiwa di mana aku dan dia pertama kali bertemu. Dia segera tahu namaku tanpa berkenalan terlebih dahulu.

"Halo, gue sering lihat lo tapi gue lupa nama lo siapa. Padahal kita, kan  kuliahnya satu jurusan...parah banget, ya gue. Hehehe..." gurauku.

"Nggak apa-apa, kok. Gue bukan lo yang populer. Kata anak-anak di kampus, sih lo baik dan senyum lo juga manis." tuturnya. Jadi tadi itu... aku dirayu oleh sesama kutub positif? Yah, paling dia hanya bercanda.

"Ah, lo bisa aja! Eh...lo bilang senyum gue manis? Gila, gue masih normal!"

Dia hanya tertawa. Ya, orang-orang bilang aku memang populer. Jadi wajar saja kalau banyak yang tahu namaku. Dan aku berani mengakui kalau dia memang, yah...sedikit memiliki pemikiran dan sifat yang nyeleneh. Tetapi, entah apa alasannya aku tahan dengan sifatnya yang aneh seperti itu. Di sisi lain aku kagum padanya karena dia memiliki otak yang cerdas dan dia sering membantuku apabila ada kesulitan dalam memahami buku-buku tebal yang menjadi makanan kami sehari-hari.

Awalnya kami hanya terlihat sebagai teman kos biasa, yang sering belajar bersama, dan menjalani senang susah sebagai dua orang mahasiswa yang tinggal di rumah kos yang sama. Dia sering bercerita padaku tentang seseorang yang lain.

Anehnya, aku sering dibanding-bandingkan dengan orang lain yang dia ceritakan berulang-ulang kepadaku. Memangnya apa kurangnya aku sebagai sahabat? Siapa dia? Aku jadi penasaran.

Hingga pada suatu hari di pertengahan bulan Oktober, dia berhenti menceritakan tentang orang tersebut, dan terus- terusan mendekatiku, menyentuhku seakan-akan aku adalah pengganti orang yang selama ini ceritakan padaku. Dia bercerita kepadaku, bahwa selama ini orang itu tidak memperdulikannya dan dia menyadari bahwa akulah yang lebih peduli padanya.

Aku sudah biasa disentuh-sentuh seperti itu, teman-teman di sekolahku yang dulu sering memperlakukanku seperti itu meskipun tujuannya hanya sekedar untuk bergurau. Tetapi, mengapa aku bisa menikmati hal ini? Kurasa aku akan tertarik ke kutub magnet yang sama, alias jatuh cinta dengan sahabatku sendiri.

Tidak! Aku tidak boleh menjadi seorang penyimpang sosial!

Suatu malam menjelang akhir bulan November, aku merasa benar-benar jatuh cinta padanya. Tuhan, tolong aku! Jangan biarkan aku jatuh dalam dosa!

"Gue baru pulang, nih...maaf gue harus bikin lo nunggu lama." kataku dengan nada lesu.

"Nggak apa-apa, kok. Gue tahu lo sibuk dan capek banget, jadi lo langsung istirahat di kamar aja. Nanti lo nggak bisa kuliah besok kalau lo nggak cukup istirahat. Sebenernya gue juga capek nungguin lo... jadi malem ini kita istirahat bareng." ajaknya.

"Langsung tidur? Bukannya kita harus makan malam dulu, ya?" tanyaku bingung.

"Ini tanggal tua, tahu! Kita nggak ada uang buat makan. Tunggu...apa mendingan gue makan lo aja, ya?"

"Hah? Maksud lo apa? Sumpah, gue bingung sama jalan pikiran lo." kataku dengan nada cemas. Aku cemas dia akan melakukan hal yang tidak-tidak padaku.

"Ikut gue. Sekarang." ajaknya dengan nada bicara yang berubah menjadi lebih dingin.

Dia menggenggam dan menarik tangan kananku. Aku ditarik masuk ke dalam kamar tidur, dan dia mendorongku ke arah kasur. Tiba-tiba saja, dia menautkan bibirnya di bibirku.

"Ngapain tadi lo tadi nyium gue?" tanyaku setelah adegan ciuman mendadak ini selesai.

"Jujur, lo itu manis." katanya sambil meraba-raba wajahku.

"Maksud lo apa? Stop! Gue nggak suka kalau ini semua udah melewati batas!" ujarku marah.

Dia tidak mau berhenti, dia melepaskan semua rajutan di tubuhku dan terus mengeksplor setiap inci tubuh mungilku, dan memainkan tubuhku seperti boneka. Mataku resah menatap jam dinding kamarku yang terus berdetak. Kapan jam penyiksaan ini berakhir?

"Gue udah nggak tahan! Sakit! Stop!" jeritku.

"Mungkin lo bisa bilang enggak, tapi kalau ternyata tubuh lo pengen lebih ya...mana bisa gue berhenti?"

Aku sudah lelah dan risih dengan segala rangsangan yang memenuhi sekujur tubuhku ini, namun di sisi lain aku adalah seorang masokis yang menikmati sentuhan jemari yang bagaikan silet-silet yang mengiris kulitku.

Keesokan paginya aku memutuskan untuk mengepak barang-barangku karena orangtuaku meminta aku untuk kembali ke rumah. Orangtuaku mengatakan bahwa aku harus kembali karena ibuku sakit parah. Sesungguhnya aku tidak mau pulang dengan rupa seperti makhluk aneh, dan  mereka tidak akan rela kalau tahu anaknya menyimpang. Tetapi di sisi lain, aku sangat menyayangi ibuku dan aku tidak mau setiap malam dia mengigau memanggil nama anaknya. Pada akhirnya, aku meninggalkan dia yang resah karena tidak ada aku lagi, sesosok tubuh mungil yang bisa disentuhnya setiap malam -- tanpa pamit.

Aku akhirnya memutuskan untuk pulang dengan bunga-bunga mawar yang membekas di sekujur tubuhku, dan kenangan akan bekas rangsangan saraf yang lukanya masih terasa bagaikan irisan silet di atas kulitku.Terpikir untuk meminta maaf padanya karena aku meninggalkannya tanpa pamit, tetapi aku tidak akan sempat. Aku meninggalkan dia karena keterpaksaan semata, sesungguhnya kalau aku mau aku akan tetap di situ.

Sebab aku berani mengakui, kalau aku sudah jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Dan selamanya aku akan tertarik pada kutub yang sama.