Senja itu begitu tenang dirasakan dalam sebuah apartemen kecil di Frankfurt am Main. Seorang laki-laki berparas Jerman asli dan teman serumahnya yang orang Asia Timur, duduk berhadap-hadapan. Tanpa suara.
Laki-laki berambut pirang pendek itu tengah mengaduk-ngaduk kopi panasnya, kemudian ia merasakan telepon genggamnya bergetar. Ternyata ada sebuah pesan dari salah seorang teman Facebook-nya. Bola mata biru itu beralih pada layar iPhone-nya, kemudian jemarinya bermain sejenak di atas layar untuk membaca pesan tersebut. Pesan tersebut dikirim oleh satu dari sekian banyak teman perempuan, tepatnya seorang gadis asal Norwegia yang sering curhat dengannya.
"Di, aku seorang lesbian."
Mata laki-laki itu seakan ingin memecahkan layar telepon genggam keluaran Apple tersebut. Bukannya dia tidak menerima kenyataan bahwa temannya adalah seorang lesbian, tetapi kenapa gadis itu hanya membuat pengakuan padanya semata? Semakin banyak orang yang mengakui bahwa dirinya menyukai sesama jenis tanpa malu dan akan menghargai mereka. Yah, gadis itu bukan tipikal orang yang berani menyampaikan sesuatu yang sangat sensitif di depan banyak orang. Meng-update status saja tidak pernah.
"Tadi itu siapa, Dieter?" tanya si laki-laki Asia Timur yang sejak tadi hanya memandangi kue-kue kering di atas piring kecil. Pria itu sepertinya tidak berniat sama sekali untuk menyentuhnya.
"Hanya seorang teman." jawabnya singkat, padat dan jelas. Teman serumah pria yang dipanggil Dieter itu hanya mengangguk pelan, tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain.
"Omong-omong, kamu lebih sering chatting sama temanmu di social media."
"Kau pikir saja sendiri, Toshiro. Aku sudah setiap hari bertemu dengan teman di kampus dan di kantor. Untuk apa menggunakan social media selama masih bisa dijangkau dengan bertemu langsung, telepon dan SMS." balas Dieter panjang lebar menanggapi ucapan temannya. Toshiro hanya menganggukkan kepalanya setuju dengan pendapat Dieter.
"Terus kamu pernah ketemu sama salah satu dari mereka? Mungkin sampai jatuh cinta..." gumam Toshiro sambil memain-mainkan sendok tehnya.
Dieter tersenyum kecil, lalu menjawab pertanyaan Toshiro, "Aku pernah, dan dia...seorang pria."
Toshiro kaget mendengar pengakuan kalau Dieter adalah seorang gay. Eh, maksudnya biseksual. Saat pertama kali mereka mengobrol, pria itu mengatakan bahwa dia punya pacar seorang wanita. Ditambah, wanita itu juga cantik. Apa wanita tersebut sudah putus dengan Dieter?
"Nggak ada salahnya kamu pacaran sama cowok, kan? Toh, di sini orang-orang kayak gitu juga udah banyak." Toshiro yang mencoba meyakinkan temannya itu.
Walaupun pria itu sejak kecil sudah dididik dengan adat ketimuran, tetap saja ia harus menghargai budaya lain. Lagipula, Toshiro yang awalnya bersikap netral terhadap LGBT sedikit demi sedikit condong ke pro karena pekerjaannya sebagai doujinka dan pernah punya teman seorang gay.
"Ya, tapi aku..." ucap Dieter yang mulai tidak bisa memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan pada temannya. Toshiro bingung dengan sikap orang di depannya itu. Seakan ada hal yang mengganjal.
"Kenapa?"
"Aku tidak yakin, dia akan menerima perasaanku selama ini. Dia selalu menghindar entah kenapa, padahal kami sudah cukup dekat." cerita Dieter takut-takut. Pria muda di depannya itu heran, kenapa kali ini curahan isi hatinya terkesan menyimpan sesuatu? Tolong, jangan sampai dia mengatakan kalau selama ini Dieter menyukai Toshiro.
"Mungkin aku dapat sedikit membantu" usul Toshiro yang masih berpikir kalau pria itu adalah seseorang yang lain.
Itu pasti bukan dirinya. Lagipula, hubungan mereka selama ini sebatas sahabat atau bahkan saudara semata. Tidak ada tanda-tanda ketertarikan seksual sama sekali.
"Kau tidak perlu melakukan itu. Selama ini usahaku selalu sia-sia." ucap Dieter lesu.
"Asalkan ada usaha, kamu pasti bisa. Sebagai sahabat, aku selalu mendukungmu kok." Toshiro mencoba untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada temannya itu sambil menepuk-nepuk pundaknya sejenak. Pria di depannya hanya tersenyum kecil, namun senyum itu sepertinya palsu. Apakah kata-katanya tadi membuat pria itu sakit hati?
Keheningan terjadi selama beberapa menit di antara dua pria itu. Tak ada satupun yang berani mengeluarkan suaranya. Walaupun pria katanya tipe yang lebih mengutamakan logika, mereka juga punya perasaan. Tak selamanya mereka menyembunyikan perasaan.
"Kok, jadi tegang gini? Memang benar, kan kita sudah lama berteman?" tanya Toshiro untuk membuktikan bahwa kata-katanya tidak menyakiti hati temannya. Dieter memang nampak seperti robot atau boneka yang tidak berperasaan dan melakukan semuanya karena keharusan. Siapa sangka perkataan sekecil itu bisa menyakiti hati orang seperti dia?
"Sudahlah, lagipula aku sudah tahu jawabannya tadi." jawab Dieter dingin. Toshiro mengerinyitkan dahi, bingung dengan maksud perkataan temannya. Dieter bukan orang yang mampu melihat masa depan atau punya firasat kuat seperti Toshiro, dia juga bukan tipe orang yang sepesimis itu.
"Apa maksudmu? Tidak biasanya kau sepesimis itu..." gumam Toshiro yang kemudian menyeruput secangkir teh yang telah mendingin.
Dieter mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk dan menatap mata temannya intens.
"Sebenarnya... aku menyimpan perasaan padamu sejak lama. Tapi tidak masalah kau menolak, lagipula kali ini aku tidak memaksa." ucap Dieter yang terdengar sangat jujur.
Perasaan Toshiro campur-campur mendengar pengakuan temannya itu. Antara syok, merasa bersalah, kasihan dan ingin membenci sahabatnya sendiri. Jadi selama ini, Toshiro ditaksir oleh seorang pria yang notabene sahabatnya sendiri? Mustahil. Apa mungkin dia saja yang kurang peka?
Sebenarnya, memang Toshiro tidak punya perasaan apapun dengan sahabatnya itu. Di matanya Dieter itu seperti kakak laki-laki sendiri atau teman serumah yang begitu perhatian. Tidak mendapatkan tempat yang spesial di hatinya.
"Maafkan aku, ya. Aku sama sekali nggak bermaksud membuatmu merasa seperti ini." ucap Toshiro yang seakan menyesal telah menolak pernyataan cinta sahabatnya sendiri. Dieter hanya mengangguk mengerti, lagipula dia tidak dapat memaksakan perasaannya terhadap orang lain.
"Tidak apa-apa. Kalau soal perasaan aku tidak akan pernah memaksakannya. Setelah ini kau tidak akan membenciku, kan?"
Toshiro yang mendengar pertanyaan temannya itu tersenyum kecil lalu menjawab, "Nggak akan pernah sampai selamanya. Kalau ada apapun yang mengganggumu, kamu masih punya aku. Apapun kamu, aku akan tetap membiarkanmu menjadi dirimu sendiri."
Dieter hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata temannya. Dia tahu Toshiro bukanlah tipe orang yang sebodoh itu sampai dia mau meninggalkan temannya hanya karena orientasi seksual yang berbeda. Kalau Toshiro dapat berteman dengan mereka yang berkulit hitam atau beragama Muslim, mengapa kaum LGBT tidak?
#NulisRandom2015