Selasa, 30 Juni 2015

day 30: unproductiveness

Sebenarnya, aku selalu berusaha untuk menjadi produktif selama liburan yang panjang ini berlangsung. Namun banyak hal yang menghalangi aku untuk mengerjakan sesuatu. Entah rasa minder, kekhawatiran yang tidak jelas atau malas untuk melakukan apapun. Ataukah ini efek suatu pikiran delusional yang membuatku tenggelam dan hanya melamun seharian?

Aku tidak tahu jelas apa yang menyebabkan kurangnya produktivitasku. Ranjang di kamar tidur selalu menggodaku untuk berbaring di atasnya dan bermimpi indah mungkin bisa jadi alasan. Artis-artis favoritku banyak mengeluarkan album dan single baru yang membuatku penasaran untuk mendengar lagunya dan menonton video musik mereka, menghabiskan waktuku. Melihat teman-temanku yang tengah berjalan-jalan ke berbagai tempat atau berpesta sampai malam, ada perasaan bahwa hidupku tidak ada apa-apanya dibanding mereka.

Aku sudah makan beberapa jenis makanan yang bisa menstimulasi saraf otak, memang sedikit berhasil. Namun, otak dan tangan tidak memiliki kesinambungan sama sekali. Setiap ada ide, sulit bagiku untuk merealisasikannya. Mungkin terasa mudah, tapi terkadang banyak yang tidak menghargai hasil karyaku. Bagaimana jadinya kalau aku menjadi orang yang paling dihujat?

Kepalaku pusing memikirkan masalah pribadi, godaan dari luar dan semua hal yang menghalangiku untuk produktif. Terkadang itu semua dapat menjadi inspirasi, namun sayang sekali aku kurang mampu untuk mengekspresikan diri. Apa sebenarnya aku yang terlalu takut akan cemooh buruk itu?

Sudahlah, aku akan tetap memaksa diriku. Bodo amat mereka bilang aku masokis.

#NulisRandom2015

Sabtu, 27 Juni 2015

day 28: deklarasi senja

Senja itu begitu tenang dirasakan dalam sebuah apartemen kecil di Frankfurt am Main. Seorang laki-laki berparas Jerman asli dan teman serumahnya yang orang Asia Timur, duduk berhadap-hadapan. Tanpa suara.

Laki-laki berambut pirang pendek itu tengah mengaduk-ngaduk kopi panasnya, kemudian ia merasakan telepon genggamnya bergetar. Ternyata ada sebuah pesan dari salah seorang teman Facebook-nya. Bola mata biru itu beralih pada layar iPhone-nya, kemudian jemarinya bermain sejenak di atas layar untuk membaca pesan tersebut. Pesan tersebut dikirim oleh satu dari sekian banyak teman perempuan, tepatnya seorang gadis asal Norwegia yang sering curhat dengannya.

"Di, aku seorang lesbian."

Mata laki-laki itu seakan ingin memecahkan layar telepon genggam keluaran Apple tersebut. Bukannya dia tidak menerima kenyataan bahwa temannya adalah seorang lesbian, tetapi kenapa gadis itu hanya membuat pengakuan padanya semata? Semakin banyak orang yang mengakui bahwa dirinya menyukai sesama jenis tanpa malu dan akan menghargai mereka. Yah, gadis itu bukan tipikal orang yang berani menyampaikan sesuatu yang sangat sensitif di depan banyak orang. Meng-update status saja tidak pernah.

"Tadi itu siapa, Dieter?" tanya si laki-laki Asia Timur yang sejak tadi hanya memandangi kue-kue kering di atas piring kecil. Pria itu sepertinya tidak berniat sama sekali untuk menyentuhnya.

"Hanya seorang teman." jawabnya singkat, padat dan jelas. Teman serumah pria yang dipanggil Dieter itu hanya mengangguk pelan, tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain.

"Omong-omong, kamu lebih sering chatting sama temanmu di social media."

"Kau pikir saja sendiri, Toshiro. Aku sudah setiap hari bertemu dengan teman di kampus dan di kantor. Untuk apa menggunakan social media selama masih bisa dijangkau dengan bertemu langsung, telepon dan SMS." balas Dieter panjang lebar menanggapi ucapan temannya. Toshiro hanya menganggukkan kepalanya setuju dengan pendapat Dieter.

"Terus kamu pernah ketemu sama salah satu dari mereka? Mungkin sampai jatuh cinta..." gumam Toshiro sambil memain-mainkan sendok tehnya.

Dieter tersenyum kecil, lalu menjawab pertanyaan Toshiro, "Aku pernah, dan dia...seorang pria."

Toshiro kaget mendengar pengakuan kalau Dieter adalah seorang gay. Eh, maksudnya biseksual. Saat pertama kali mereka mengobrol, pria itu mengatakan bahwa dia punya pacar seorang wanita. Ditambah, wanita itu juga cantik. Apa wanita tersebut sudah putus dengan Dieter?

"Nggak ada salahnya kamu pacaran sama cowok, kan? Toh, di sini orang-orang kayak gitu juga udah banyak." Toshiro yang mencoba meyakinkan temannya itu.

Walaupun pria itu sejak kecil sudah dididik dengan adat ketimuran, tetap saja ia harus menghargai budaya lain. Lagipula, Toshiro yang awalnya bersikap netral terhadap LGBT sedikit demi sedikit condong ke pro karena pekerjaannya sebagai doujinka dan pernah punya teman seorang gay.

"Ya, tapi aku..." ucap Dieter yang mulai tidak bisa memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan pada temannya. Toshiro bingung dengan sikap orang di depannya itu. Seakan ada hal yang mengganjal.

"Kenapa?"

"Aku tidak yakin, dia akan menerima perasaanku selama ini. Dia selalu menghindar entah kenapa, padahal kami sudah cukup dekat." cerita Dieter takut-takut. Pria muda di depannya itu heran, kenapa kali ini curahan isi hatinya terkesan menyimpan sesuatu? Tolong, jangan sampai dia mengatakan kalau selama ini Dieter menyukai Toshiro.

"Mungkin aku dapat sedikit membantu" usul Toshiro yang masih berpikir kalau pria itu adalah seseorang yang lain.

Itu pasti bukan dirinya. Lagipula, hubungan mereka selama ini sebatas sahabat atau bahkan saudara semata. Tidak ada tanda-tanda ketertarikan seksual sama sekali.

"Kau tidak perlu melakukan itu. Selama ini usahaku selalu sia-sia." ucap Dieter lesu.

"Asalkan ada usaha, kamu pasti bisa. Sebagai sahabat, aku selalu mendukungmu kok." Toshiro mencoba untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada temannya itu sambil menepuk-nepuk pundaknya sejenak. Pria di depannya hanya tersenyum kecil, namun senyum itu sepertinya palsu. Apakah kata-katanya tadi membuat pria itu sakit hati?

Keheningan terjadi selama beberapa menit di antara dua pria itu. Tak ada satupun yang berani mengeluarkan suaranya. Walaupun pria katanya tipe yang lebih mengutamakan logika, mereka juga punya perasaan. Tak selamanya mereka menyembunyikan perasaan.

"Kok, jadi tegang gini? Memang benar, kan kita sudah lama berteman?" tanya Toshiro untuk membuktikan bahwa kata-katanya tidak menyakiti hati temannya. Dieter memang nampak seperti robot atau boneka yang tidak berperasaan dan melakukan semuanya karena keharusan. Siapa sangka perkataan sekecil itu bisa menyakiti hati orang seperti dia?

"Sudahlah, lagipula aku sudah tahu jawabannya tadi." jawab Dieter dingin. Toshiro mengerinyitkan dahi, bingung dengan maksud perkataan temannya. Dieter bukan orang yang mampu melihat masa depan atau punya firasat kuat seperti Toshiro, dia juga bukan tipe orang yang sepesimis itu.

"Apa maksudmu? Tidak biasanya kau sepesimis itu..." gumam Toshiro yang kemudian menyeruput secangkir teh yang telah mendingin.

Dieter mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk dan menatap mata temannya intens.

"Sebenarnya... aku menyimpan perasaan padamu sejak lama. Tapi tidak masalah kau menolak, lagipula kali ini aku tidak memaksa." ucap Dieter yang terdengar sangat jujur.

Perasaan Toshiro campur-campur mendengar pengakuan temannya itu. Antara syok, merasa bersalah, kasihan dan ingin membenci sahabatnya sendiri. Jadi selama ini, Toshiro ditaksir oleh seorang pria yang notabene sahabatnya sendiri? Mustahil. Apa mungkin dia saja yang kurang peka?

Sebenarnya, memang Toshiro tidak punya perasaan apapun dengan sahabatnya itu. Di matanya Dieter itu seperti kakak laki-laki sendiri atau teman serumah yang begitu perhatian. Tidak mendapatkan tempat yang spesial di hatinya.

"Maafkan aku, ya. Aku sama sekali nggak bermaksud membuatmu merasa seperti ini." ucap Toshiro yang seakan menyesal telah menolak pernyataan cinta sahabatnya sendiri. Dieter hanya mengangguk mengerti, lagipula dia tidak dapat memaksakan perasaannya terhadap orang lain.

"Tidak apa-apa. Kalau soal perasaan aku tidak akan pernah memaksakannya. Setelah ini kau tidak akan membenciku, kan?"

Toshiro yang mendengar pertanyaan temannya itu tersenyum kecil lalu menjawab, "Nggak akan pernah sampai selamanya. Kalau ada apapun yang mengganggumu, kamu masih punya aku. Apapun kamu, aku akan tetap membiarkanmu menjadi dirimu sendiri."

Dieter hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata temannya. Dia tahu Toshiro bukanlah tipe orang yang sebodoh itu sampai dia mau meninggalkan temannya hanya karena orientasi seksual yang berbeda. Kalau Toshiro dapat berteman dengan mereka yang berkulit hitam atau beragama Muslim, mengapa kaum LGBT tidak?

#NulisRandom2015

Rabu, 24 Juni 2015

day 24: internships and idols

Perempuan muda berambut hitam panjang sepunggung itu tengah duduk di bangku kantin kampusnya. Ia tersenyum lega menatap proposal magangnya yang telah diterima, baik oleh dosen maupun kantor tempatnya akan magang. Sudah beberapa kali Dinda mengajukan proposal magang, namun selalu ditolak. Bagi seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik seperti Dinda, magang adalah suatu mata kuliah yang wajib diambil untuk semester itu. Ia dapat bernapas lega karena satu nilainya sudah selamat. Yah, yang harus dia lakukan hanyalah menjalani pekerjaannya di LSM berbasis kesetaraan gender tersebut dan membuat laporan pada akhir semester.

Namun, ada satu masalah lagi. Jarak antara rumah Dinda dan kantor magang maupun kampusnya dapat dikatakan sangat jauh. Bayangkan saja, dari rumah ke kampus Dinda harus naik bis kota lalu menyambung kereta api yang berhenti di tujuh stasiun.

"Din? Kok, bengong? Harusnya seneng dong, udah keterima. Gue aja udah ngajuin berkali-kali masih belum dapat juga." tanya Afi, salah satu sahabatnya yang tengah mengaduk-aduk segelas es teh manis dengan sedotan. Dinda yang tengah memasang headset sambil mendengarkan lagu-lagu salah satu boyband asal Jepang, melepas salah satu headsetnya dan menoleh ke arah temannya.

"Emang, sih gue seneng nilai magang gue selamat. Cuma, gue takut ngerepotin dan ngekhawatirin ortu gue kalau misalnya gue tinggal bareng mereka. Gue mau tinggal sendiri rada rempong gitu, lo tahu kan bokap nyokap gue kayak apa, Fi?" Dinda menjawab sekenanya.

"Eh, omong-omong lo lagi dengerin apaan Din? Ini lagunya Arashi bukan, sih?" ucap Afi sambil memasang kabel headset yang tadi sempat dilepaskan Dinda, mencoba mengalihkan percakapan.

"Yah, masih satu agency sama Arashi lah. Cuma grup yang ini debutnya duluan dari Arashi." jelas Dinda singkat. Afi hanya geleng-geleng kepala, ia tidak mengerti lagi dengan bagaimana manajemen industri hiburan di Jepang sana.

#NulisRandom2015

Selasa, 23 Juni 2015

day 23: bad service

Gadis berambut panjang sepunggung itu memasang wajah bosan sambil memainkan game Hay Day di ponselnya. Sementara pria di depannya memfokuskan matanya pada sebuah buku tebal karangan Haruki Murakami. Suasana di restoran itu sungguh ramai, anak-anak sekolah, mahasiswa, pegawai kantor bahkan orang-orang lanjut usia tengah bercengkerama sambil makan di atas bangku-bangku kayu dengan bantalan merah. Inilah ciri khas restoran di Asia, orang-orangnya berisik kalau ngobrol.

Dua orang itu sudah setengah jam lebih mematung di atas kursi dengan perut lapar. Bayangkan saja, tiga puluh menit lebih menunggu pesanan. Awalnya mereka memaklumi kalau restorannya sudah terlanjur ramai. Lama kelamaan tumbuh rasa kesal juga karena pelayanan di restoran ini sangat tidak efektif.

Sembari menutup game Hay Day di telepon genggamnya, mata gadis itu berpaling pada seorang gadis seusianya yang tengah duduk bersama seorang pria kaukasia. Gadis seusianya itu memiliki warna kulit yang lebih gelap. Tank top merah yang dipadukan dengan hot pants denim dan sepatu hak tinggi, mengundang birahi para laki-laki yang mengunjungi restoran tersebut. Mana make-up gadis itu juga tebal. Si pria kaukasia itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Dari pakaiannya saja sudah nampak kalau dia itu bule kere.

Dialihkannya pandangan matanya ke arah  dirinya dan kekasihnya sendiri. Gadis itu baru ingat kalau dia tidak sempat berdandan sebelum menemui sang kekasih. Pakaian yang dikenakannya juga dapat dikatakan tidak menyenangkan mata laki-laki. Ia hanya memakai kaos garis-garis, cardigan, celana jins dan sepatu kets. Rambut panjang itu diikatnya ke belakang. Pria muda di depannya saat ini memang orang Jepang, namun secara fisik ia agak sulit dibedakan dari orang Indonesia pada umumnya. Kedua matanya tidak begitu sipit ditambah kulitnya yang agak kecokelatan. Maklum, pacarnya itu memang kelahiran Osaka yang notabene suhu udaranya sangat panas.

"Toshiro?" ucap gadis itu pelan sambil menggandengkan kedua tangannya dan menjadikannya sebagai topangan dagu.

Merasa terpanggil, tangan pemuda itu menutup bukunya, kemudian memandang kedua mata gadis itu. "Ada apa?"

"Aku minta maaf..." gumam gadis itu yang tiba-tiba menundukkan kepalanya lemas. Pemuda itu mengerinyitkan dahinya, menciptakan ekspresi bingung atas perkataan gadis di depannya itu. Seingatnya gadis itu tidak melakukan kesalahan apa-apa akhir-akhir ini.

"Minta maaf atas dasar apa? Kamu sama sekali nggak salah apa-apa, Din." ucap Toshiro yang mencoba untuk meyakinkan kekasihnya bahwa ia tidak melakukan kesalahan apapun baru-baru ini.

"Hari ini aku nggak sempat dandan, dan pasti kamu nggak suka sama penampilanku..."

Toshiro malah tersenyum kecil mendengar kata-kata gadis itu tadi. Jelas ia mencintai Dinda selama ini apa adanya, dan tidak begitu banyak menuntut ini itu. Kenapa keyakinannya akan hal itu semakin turun?

"Jawab aku..." ucap gadis itu yang tidak mengerti dengan bahasa tubuh Toshiro.

"Udah berapa lama kita pacaran, Din? Masih aja nanya kayak gitu...aku gak pernah komplain macam-macam ke kamu." desis Toshiro yang merasa sedikit kesal dengan pertanyaan Dinda.

"Ya, siapa tahu saja kamu lebih suka kalau aku bergaya seksi..." gurau Dinda. "Lagipula, kamu kan juga orang asing. Kudengar kalau mau menarik perhatian mereka harus pakai baju seksi dan make-up."

"Hei! Tidak semua orang asing seperti itu tahu. Aku, kan tidak menjadikanmu budak seks..." ucap Toshiro sambil memandangi sekitarnya karena bosan. Matanya tertuju pada seorang gadis yang tadi dilihat Dinda. Gadis yang memakai pakaian kurang bahan itu dan membuat kepercayaan diri kekasihnya drop begitu saja. Yah, gadis itu memang selalu merasa tidak aman kalau melihat atau mendengar hal yang mengganggunya.

Seorang pelayan meletakkan pesanan di atas meja di mana si gadis murahan dan bule kere yang sudah agak tua itu duduk. Dinda merasa kesal dibeda-bedakan seperti itu. Mentang-mentang ia dan pacarnya berpenampilan seperti anak kampung. Lagipula mereka sudah datang duluan, tapi kenapa mereka yang dilayani hanya karena ada orang Kaukasia?

Mana Dinda dan Toshiro memesan dua mangkok mie dan dua gelas teh hijau. Belum lagi tambahan camilannya. Sementara mereka? Pesan salad paling murah di restoran itu dan dimakan berdua.

"Kok, mereka yang dilayanin duluan Din? Kita, kan datang duluan..." ucap Toshiro sambil menatap pasangan di meja seberang.

"Pelayanan di Indonesia beda banget sama di Jepang atau di Jerman, Tou. Emang suka diskriminasi penampilan gitu..." jelas Dinda yang mencoba membuat pria itu mengerti betapa buruknya pelayanan di Indonesia.

Pria itu hanya mengangguk pelan. Dinda mencari keberadaan pelayan, dan mengangkat tangannya untuk memanggil salah seorang dari mereka. Ia ingin makanannya cepat sampai, karena ia lapar dan uangnya telah keluar membayar semua makanan itu.

"Mbak!" panggil gadis itu pada salah seorang pelayan yang lewat dengan membawa kartu pesanan tamu. Pelayan itu menoleh dan berbalik sejenak ke arah Dinda, dengan tatapan mata yang dapat dikatakan menyebalkan.

"Kenapa?" tanya si pelayan yang menyebalkan itu.

"Kita udah nunggu pesanannya nyaris satu jam, ya? Sedangkan meja yang seberang itu baru datang setengah jam yang lalu. Dan kita udah bayar, woi!" ujar gadis itu keras-keras menjawab pertanyaan si pelayan yang seakan tidak tahu apa kesalahannya. Sementara Toshiro, merogoh-rogoh tas selempang yang dibawanya lalu mengeluarkan dompet serta map berisi dokumen-dokumen pribadinya di Jepang.

"Hmm...saya juga berhak mendapatkan pelayanan sama seperti orang asing di seberang saya itu. Dokumen-dokumen di atas meja ini sudah cukup membuktikan kalau saya juga orang asing seperti dia." ucap Toshiro dingin sambil melihat sejenak ke arah pelayan yang dapat dikatakan rasis ini.

Mungkin pelayan itu mengira bahwa Toshiro ini orang Indonesia pada umumnya. Padahal statusnya sama si bule kere itu sama saja. Sama-sama warganegara asing.

"Duh, maaf ya...tunggu lima belas menit lagi..." ucap pelayan itu sambil membungkukkan badannya.

"Benar, ya lima belas menit? Lebih dari itu kita batalkan pesanannya dan minta uang kembali!" bentak Toshiro pada pelayan tersebut kesal. Si pelayan itu menganggukkan kepalanya kemudian pergi begitu saja.

Pemuda itu menghela napas sejenak untuk mengeluarkan semua emosi negatif yang dikeluarkannya tadi. Dinda hanya bisa menunggu lima belas menit kemudian sambil menahan rasa lapar dan melanjutkan bermain game Hay Day.

"Kayaknya ini pertama dan terakhir kita makan di sini...pelayanannya jelek banget." ucap Toshiro sambil merapikan dokumen dan dompet, kemudian memasukkannya kembali dalam tas selempangnya. Dinda hanya bisa mengangguk dan pasrah saja kalau misalnya pesanan mereka dibatalkan dan uang itu kembali.

#NulisRandom2015

Senin, 22 Juni 2015

day 22: i am an idol

Aku selalu bermimpi untuk menjadi seorang idola. Kubayangkan semua mata tertuju padaku, cahaya panggung itu menyorot tubuhku dan suara-suara lantang meneriakkan namaku. Pasti akan menyenangkan rasanya, hidup dalam ketenaran dan gelimang harta.

Namun apa daya, aku hanya seorang gadis kecil polos yang hidup dalam khayal setiap waktu. Aku tak peduli akan realita hidup yang keras dan terus bermimpi. Masa kecilku kuhabiskan dengan mencari eksistensi dari pengetahuan, goresan pensil, krayon, nyanyian dan keberaian untuk bicara. Benar saja aku merasakan menjadi idola di sekolah karena kepintaranku. Berat rasanya harus menjaga imaji sebagai seorang gadis kecil yang cerdas. Bagaimana kalau aku menjadi idola di atas panggung atau di layar kaca?

Impianku untuk menjadi idola kandas di tengah jalan, saat aku beranjak remaja. Aku menemui banyak saingan, mereka yang lebih rupawan, cerdas, berbakat, dan dari latar belakang keluarga yang mapan. Sementara aku bukan apa-apa dibanding mereka, bahkan anak-anak itu hanya menganggapku sampah. Tubuhku mungil dengan wajah standar. Orang tuaku tidak tergolong mampu. Aku tidak bisa bernyanyi, bermain musik, menggambar dengan baik, olah raga ataupun bicara di depan umum. Yang aku bisa hanya menulis dan berkhayal.

Aku merasa tidak ada hal yang bisa kubanggakan dalam diriku. Namun pecutan itu malah membuat diriku semakin bersemangat untuk menjadi idola agar mereka yang menjauhiku malah tertarik seperti magnet.

Pada masa remaja akhir aku kembali menjadi idola banyak orang karena kepandaian dan kebaikanku. Kepandaian dan kebaikan ini mereka tidak hargai, namun mereka manfaatkan untuk kepentingan mereka. Aku menjadi semakin pesimis, berpikir bahwa aku tidak akan pernah menjadi idola kalau begini caranya. Dimanfaatkan, didekati karena kasihan, lalu dijauhi.

Yah, seorang idola pasti memiliki kaum yang membenci mereka karena iri, bukan? Mungkin suatu saat mereka akan berbalik menjadi fansku. Lagipula kaum pembenci adalah fans yang tertunda.

Saat aku beranjak dewasa, aku mulai merasakan silaunya sorotan sinar panggung yang baru. Aku semakin mengembangkan bakat menulis dan menggambarku tanpa mempedulikan hasil karya orang lain yang lebih baik. Apa daya, mereka adalah mereka dan aku adalah aku. Jadi, aku melakukan itu semua untuk diriku sendiri. Bukan untuk mendapatkan sanjungan orang.

Sanjungan itu hanyalah bonus.

Ketika bibir-bibir itu memujiku secara langsung maupun diam-diam, aku hanya dapat tersenyum. Aku tidak menyadari kalau hal sekecil apapun bisa meroketkan aku menjadi idola. Mungkin salah satu kunci untuk menjadi idola hanyalah menjadi diri sendiri dan percaya dengan hasil jerih payah yang kulakukan.

Menjadi idola di lingkup keluarga dan teman saja sudah membuatku bahagia. Aku tinggal menunggu waktu yang tepat untuk memperluas jumlah pengagumku. Siapa tahu aku bisa menyamai para aktor, musisi, dan tokoh politik yang selama ini kukagumi. Tentunya karena prestasi yang selama ini kuukir.

#NulisRandom2015

Minggu, 21 Juni 2015

day 21: hitam, putih dan abu-abu

Aku sudah capek dengan ucapan orang-orang di sekelilingku. Mereka bilang aku harus mencontoh kakakku yang katanya lebih baik dalam segala hal dibanding aku. Di satu sisi mereka memang ada benarnya.

Kakak laki-lakiku secara bungkusan luar dan dalam memang terlihat baik. Tubuhnya mewarisi gen tinggi badan dari ibuku, ditambah ia memiliki wajah yang menarik perhatian wanita atau pria gay yang melihatnya. Tidak cuma sekadar berpenampilan menarik saja, kakakku juga tidak pernah memiliki catatan kriminal.

Pantas saja lebih banyak yang menyukai kakakku. Lagipula, mereka tidak pernah tahu bahwa pria itu tidak semanis dan sepolos kelihatannya. Orang-orang yang suka membanding-bandingkan itu tidak tahu soal filosofi yin dan yang.

Jangan sangka kakakku ini masih menjomblo seumur hidup dan menjadi hikikomori  karena imajinya yang seperti malaikat. Bayangkan saja, kakak laki-lakiku punya track record  hubungan percintaan yang buruk dengan mantan pacar yang tidak terhitung banyaknya. Selama ini wanita yang terlihat bersama kakakku selalu tidak membuatnya bahagia.

Mereka tidak pernah tahu, kalau orang yang nampak sesuci kakakku pasti pernah berbuat dosa. Sesabar-sabarnya kakakku, pasti dia pernah marah dan kecewa dengan orang-orang yang memanfaatkan kebaikannya. Termasuk mantan-mantannya itu yang mungkin saja hanya ingin uang dan kepuasan seksual. Sudah pasti ia pernah meniduri mantan-mantan pacarnya (bila diminta), kemudian meninggalkan mereka begitu saja.

Pria itu polos sekaligus bejat dalam waktu yang bersamaan. Polos, karena ia tidak pernah mau belajar dari pengalaman buruk dalam kehidupan asmaranya. Dapat dikatakan bejat juga karena seakan semua mantan pacarnya itu hanya dianggap sebagai boneka seks yang dicampakkan setelah dipakai. Benar saja, ia membuktikannya dengan pose di majalah dewasa itu.

Bagaimana denganku?

Seorang pelajar SMA dengan nilai A, A- dan B+ berturut-turut yang menghiasi kartu rapor. Bahkan semester lalu aku nyaris mendapatkan straight A. Terkadang aku bingung apa yang kulakukan dengan kepandaian ini, apabila kepandaian ini tidak akan terlihat oleh orang banyak. Walaupun nilai rapor dan tugas mencerminkan aku lebih cerdas dari kakak laki-lakiku, secara fisik dan perilaku aku dapat dikatakan minus.

Aku ini bertubuh mungil, berkulit pucat dengan bercak dan bintik bekas jerawat di pipi. Ekspresi wajah cuek yang selalu kulukiskan malah mengindikasikan kalau aku seorang anak berandalan. Kuakui, aku memang anak nakal yang suka bertengkar dan mencari masalah dengan orang lain. Tapi aku belum tega memperkosa perempuan atau menancapkan pisau di jantung orang. Jangankan memperkosa, pacaran saja aku belum pernah.

Ya, level kesabaranku memang di bawah rata-rata. Aku tidak sedewasa kakakku yang bisa menghadapi masalah dengan kepala dingin dan perundingan. Masalah selalu kuselesaikan dengan mengandalkan kekuatan fisik dan emosi negatif yang selalu membawa masalah. Baik bagi orang lain maupun diriku sendiri.

Mereka pikir aku berkelahi secara fisik dan verbal hanya untuk bersenang-senang? Tidak, mereka salah. Aku melakukan itu semua untuk melindungi diriku, keluarga dan teman-teman. Di balik tindakanku yang kadang nekat dan berbahaya ini, aku tidak ada bedanya dengan kakak laki-lakiku. Justru aku tidak secuek air mukaku, sesungguhnya aku peduli.

Ada wilayah abu-abu yang tidak nampak dan disadari oleh mereka antara kami berdua. Orang tua kami mengajarkan kami berdua untuk selalu peka dan membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan. Ajarannya boleh sama, hanya saja kami yang mengaplikasikan dengan cara yang berbeda. Kakakku melakukannya dengan kelembutan dan kepolosannya, sementara aku mengembangkan sikap protektif.

Lagipula kalau tidak ada aku dan kakakku, mereka tidak akan bisa tertolong bukan? Jadi, untuk apa aku merasa iri dengan kakakku seperti anak-anak lain yang punya saudara? Toh, kami memiliki sisi terang dan gelap plus kesamaan dalam satu hal.

#NulisRandom2015

Sabtu, 20 Juni 2015

day 20: odd names

Sebenarnya apa arti dari sebuah nama? Aku iri pada mereka di luar sana yang diidentifikasikan dengan rangkaian kata indah dan mudah diingat. Misalnya saja, aku pernah menemani seorang pelancong asal Indonesia di jalan raya Khaosan tempat para turis mencari kesenangan dan berbelanja. Si pelancong itu memintaku untuk memanggilnya Dhika dari nama lengkap Raphaella Gusti Mahardhika (yang sempat kubaca di kartu identitasnya). Atau seorang sahabat penaku asal Prancis yang selalu mengakhiri setiap suratnya dengan nama Pierre Foucault.

Ya, aku tahu kalau nama orang di Thailand itu panjang-panjang dan susah dibaca. Untuk mendaftar forum online internasional, terpaksa aku harus menyingkat namaku atau menyamarkan identitas karena username-nya hanya terbatas 20 karakter termasuk spasi. Nama asliku, kan 20 karakter lebih. Demi apapun, forum ini sama sekali tidak punya toleransi pada orang bernama panjang dan ribet.

Dalam forum dunia maya atau ketika bertemu dengan orang asing, aku selalu meminta mereka memanggilku dengan nama Iris. Bukan apa-apa, seperti yang dijelaskan tadi nama orang Thailand itu panjang-panjang dan susah diingat maupun diucapkan. Maka dari itu, nama asliku kadang terbaca aneh. Dan ada rasa takut kalau orang-orang yang teridentifikasi dengan rangkaian kata indah itu akan menghina nama asliku.

Tahun demi tahun di mana aku selalu menutupi identitasku berlalu. Pada suatu hari, aku diajak berkenalan oleh seorang laki-laki. Laki-laki ini mengaku sebagai salah satu teman dari Dhika. Wajahnya memang tidak begitu tampan dan bentuk fisiknya juga kurus tinggi. Namun saat kami berdua tengah bercakap-cakap di kafe itu, ternyata ia menyenangkan juga.

Atmosfer menyenangkan itu berubah saat ia tiba-tiba menanyakan siapa namaku.

"Omong-omong, siapa namamu? Dari tadi kita belum berkenalan. Padahal ngobrolnya juga udah setengah jam." gumam pria itu sambil melirik jarum jam arlojinya.

"Panggil Iris saja. Jangan tanya nama asliku." ucapku dingin sambil terus mengaduk kopiku yang mulai mendingin.

"Memangnya kenapa?" tanya pria itu santai.

"Nggak apa-apa...tapi nggak penting kamu tahu nama asli aku..." ucapku pelan sambil menatap matanya intens.

"Kalau aku pengen tahu gimana?"

Oke, baiklah. Jika ia memaksaku, aku akan mengeluarkan kartu namaku. Aku merogoh tasku dan mengeluarkan kartu nama, lalu meletakkannya di meja kafe. Tangan pria itu meraihnya dan melihat kartu itu sejenak. Kemudian kepalanya diangguk-anggukkan sedikit.

"Boleh panggil pakai nama aslimu saja, nggak?" tanya pria itu. Lantas aku merasa kaget karena pria itu ingin memanggilku dengan nama asli yang sulit diingat.

"Apa? Tapi itu kepanjangan..." gumamku.

"Nggak apa-apa, Siriporn. Lagipula namaku juga aneh, kok." ucap pria itu santai sambil merogoh kantong dan mengeluarkan kartu namanya. Aku memandangnya sejenak, lalu tersenyum kecil karena baru pertama kalinya orang asing mau memanggilku dengan nama asli.

Dan karena nama pria itu juga aneh, aku tidak mau memberitahukannya padamu.

#NulisRandom2015