Minggu, 14 Juni 2015

day 14: melangkah cepat

Ada satu hal yang masih belum kumengerti sejak kecil. Orang-orang terdekatku selalu berjalan lebih cepat dariku. Seakan keseimbangan mereka dapat diatur secara otomatis untuk menghadapi rintangan. Aku sendiri termasuk orang yang santai kalau melangkah, jadi aku lebih memilih berjalan perlahan.

Kira-kira belasan tahun lalu, usiaku baru delapan tahun. Dulu kakak laki-lakiku sering mengajakku jalan-jalan sore, selagi menunggu kakak perempuanku bermain bola dengan teman-temannya. Kami berjalan-jalan hanya sekadar untuk membeli camilan yang dijual di warung atau menyapa para tetangga.

Kakak laki-lakiku memiliki kaki yang begitu jenjang, sehingga langkahnya juga sangat cepat lagi besar-besar. Waktu pertama kali aku diajaknya jalan-jalan sore, aku sering jauh tertinggal di belakangnya karena sulit untuk menyamakan kecepatan kaki kami. Kakiku sendiri kurus, lemah dan kecil, jelas tidak dapat mengimbangi langkah kakakku. Ditambah, aku juga terlalu hati-hati.

Aku khawatir kakakku akan tega meninggalkan aku sendiri di belakang. Sudah lama aku menaruh kepercayaan padanya, dan dia juga sudah berjanji akan menjagaku hingga aku menemukan sosok baru saat dewasa nanti.

"Koko! Apa Koko mau ninggalin aku?" ujarku saat melihat punggung kakak laki-lakiku yang sudah agak menjauh. Saat itu aku terlalu lelah untuk mengikuti kecepatannya. Sebenarnya aku ingin bisa berjalan cepat, hanya saja kaki ini tidak kuat menyamai kecepatan kaki-kaki lain.

Remaja laki-laki bermata sipit dan berkulit putih langsat itu menoleh ke arahku, kemudian melangkah kembali mendekatiku. Ia membungkuk sejenak, lalu mengelus kepalaku lembut.

"Nggak akan pernah, kok." ucap kakak laki-lakiku mantap.

"Lalu kenapa Koko Alex biarin aku jalan pelan-pelan? Aku nggak bisa jalan secepat itu." gerutuku.

"Kamu gak usah maksain diri jalan cepat, setiap orang kan punya kemampuan sendiri-sendiri. Tujuan kita sama, dan kita akan bertemu di tujuan itu." tutur remaja laki-laki di depanku itu lembut. Ada benarnya juga ucapannya itu. Selambat apapun kita melangkah ke satu tujuan toh akan sampai juga.

Tahun demi tahun berlalu, dan langkah-langkah yang perlahan itu kunikmati bersama orang-orang di sekitarku yang selalu mengangkatku saat aku lelah. Mereka tidak peduli seberapa cepat aku berjalan, namun mereka berharap aku bisa melakukan itu semua. Walaupun prosesnya juga terbilang agak lambat.

Contohnya saja, waktu SMA atau kuliah gelar sarjana dulu aku sama sekali tidak pernah punya pacar seperti gadis normal lainnya. Walaupun ada beberapa laki-laki yang pernah menyukaiku, aku tidak secepat itu mendapatkan cinta sejati. Akhirnya aku menyadari kalau cinta sejatiku tidak berada di sini, tapi di sebuah negara asing.

Tepatnya saat aku mengejar gelar pascasarjana, aku sungguh menemukannya. Dan lagi-lagi pria itu berjalan cepat. Fisiknya memang kurang lebih sama sepertiku, hanya saja sedikit lebih tinggi. Mungkin karena ia adalah seorang laki-laki.

Kedua kaki kekasihku itu tidak sejenjang yang kakakku punya. Nampak sekali dari langkah-langkahnya yang besar, apabila otot-otot kakinya memang sudah biasa berjalan cepat tanpa mempedulikan di sekitarnya. Berbeda denganku yang selalu diajarkan untuk berhati-hati dalam berjalan.

Aku ingat saat kencan kami yang kesekian. Kakinya begitu kuat sehingga dia dapat mempercepat langkahnya sembari menjaga keseimbangan. Dari apa yang kudengar dari kisah hidupnya, ia tergolong orang yang melangkah cepat untuk mencapai tujuannya. Sejak kecil dia seorang anak yang cerdas istimewa, dan sangat ambisius untuk mendapatkan gelar sarjana cum laude. Beasiswa ini juga ia dapatkan karena prestasinya semasa menjadi mahasiswa dulu.

Malam itu, ia kembali melangkah lebih cepat dariku namun entah kenapa ia membiarkan aku berjalan di belakangnya. Aku malah tidak terlihat seperti stalker atau semacamnya dengan posisi seperti itu. Sejak dulu aku memang sulit untuk menyamai langkah kakinya. Bagaimana mungkin kita bisa berjalan bersama-sama kalau begini caranya?

Sejak pertama kali ia menyatakan perasaannya padaku, pria itu telah berjanji tidak akan meninggalkanku. Nyatanya dia berjalan lebih cepat dariku, dan pasti akan meninggalkanku begitu saja.

Tak berapa lama kemudian, kami telah sampai di sebuah kafe. Aku akhirnya bisa duduk juga karena kaki terlalu lelah mengikuti kecepatan langkah kekasihku. Sulit bagiku untuk mengimbanginya. Dia terlalu sempurna untuk menjadi belahan jiwaku.

"Apa aku boleh tanya sesuatu?" pintaku sambil menatap kedua iris hitamnya. Pria itu hanya mengangguk pelan.

"Kamu nggak akan pernah ninggalin aku, kan? Terus kok, kamu jalannya cepat banget. Aku kan jadi ketinggalan..." gumamku, kemudian menggembungkan pipi sedikit.

Pria itu tersenyum kecil, lalu berkata "Kita udah cukup lama menjalin hubungan, kan? Aku kan ngerti kalau kamu kayak gitu, Din."

"Bukannya kalau aku jalan dibelakang kamu, kesannya kamu jadi posesif dan dominan ya, Toshiro?" gumamku sambil memuntir-muntir rambutku. Kurasa selama kami menjalin hubungan ini, kami benar-benar berbagi peran.

"Kesannya, kan? Kita boleh jalan gak sama cepat, tapi mereka kan nggak tahu kalau kita jalan sama-sama." ucapnya renyah namun terus terang. Memang, selama ini aku terlalu percaya dengan komentar stereotipikal yang kalau Toshiro ini dominan. "Yah, kalau kita udah lewatin semua sama-sama...aku akan berjalan lebih cepat lagi."

"Eh? Terus hubungan ini mau disudahi begitu saja?" tanyaku yang sudah sedikit merasa diserang oleh kata-kata Toshiro yang tajam itu.

"Duh, jangan dipotong gitu kenapa, Din? Aku kan belum selesai bicara." ucapnya kesal.

"Terus gimana?"

"Aku berhenti di suatu tempat. Terus nungguin kamu jalan pelan untuk mengucapkan janji pernikahan." ucapnya lagi. Ini maksudnya melamar atau mencoba untuk romantis tapi gagal? Aku masih bingung dengan kepribadian Toshiro, walaupun kami sudah hampir dua tahun menjalin hubungan.

"Eh? Kita baru dua tahun jadian, udah nikah aja...lagian kita juga belum tentu bakalan nikah cepat." gurauku. Tanpa sadar pipiku merona merah karena malu. Pria manis itu hanya tersenyum kecil melihat reaksiku yang seperti itu.

#NulisRandom2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar