Senin, 22 Juni 2015

day 22: i am an idol

Aku selalu bermimpi untuk menjadi seorang idola. Kubayangkan semua mata tertuju padaku, cahaya panggung itu menyorot tubuhku dan suara-suara lantang meneriakkan namaku. Pasti akan menyenangkan rasanya, hidup dalam ketenaran dan gelimang harta.

Namun apa daya, aku hanya seorang gadis kecil polos yang hidup dalam khayal setiap waktu. Aku tak peduli akan realita hidup yang keras dan terus bermimpi. Masa kecilku kuhabiskan dengan mencari eksistensi dari pengetahuan, goresan pensil, krayon, nyanyian dan keberaian untuk bicara. Benar saja aku merasakan menjadi idola di sekolah karena kepintaranku. Berat rasanya harus menjaga imaji sebagai seorang gadis kecil yang cerdas. Bagaimana kalau aku menjadi idola di atas panggung atau di layar kaca?

Impianku untuk menjadi idola kandas di tengah jalan, saat aku beranjak remaja. Aku menemui banyak saingan, mereka yang lebih rupawan, cerdas, berbakat, dan dari latar belakang keluarga yang mapan. Sementara aku bukan apa-apa dibanding mereka, bahkan anak-anak itu hanya menganggapku sampah. Tubuhku mungil dengan wajah standar. Orang tuaku tidak tergolong mampu. Aku tidak bisa bernyanyi, bermain musik, menggambar dengan baik, olah raga ataupun bicara di depan umum. Yang aku bisa hanya menulis dan berkhayal.

Aku merasa tidak ada hal yang bisa kubanggakan dalam diriku. Namun pecutan itu malah membuat diriku semakin bersemangat untuk menjadi idola agar mereka yang menjauhiku malah tertarik seperti magnet.

Pada masa remaja akhir aku kembali menjadi idola banyak orang karena kepandaian dan kebaikanku. Kepandaian dan kebaikan ini mereka tidak hargai, namun mereka manfaatkan untuk kepentingan mereka. Aku menjadi semakin pesimis, berpikir bahwa aku tidak akan pernah menjadi idola kalau begini caranya. Dimanfaatkan, didekati karena kasihan, lalu dijauhi.

Yah, seorang idola pasti memiliki kaum yang membenci mereka karena iri, bukan? Mungkin suatu saat mereka akan berbalik menjadi fansku. Lagipula kaum pembenci adalah fans yang tertunda.

Saat aku beranjak dewasa, aku mulai merasakan silaunya sorotan sinar panggung yang baru. Aku semakin mengembangkan bakat menulis dan menggambarku tanpa mempedulikan hasil karya orang lain yang lebih baik. Apa daya, mereka adalah mereka dan aku adalah aku. Jadi, aku melakukan itu semua untuk diriku sendiri. Bukan untuk mendapatkan sanjungan orang.

Sanjungan itu hanyalah bonus.

Ketika bibir-bibir itu memujiku secara langsung maupun diam-diam, aku hanya dapat tersenyum. Aku tidak menyadari kalau hal sekecil apapun bisa meroketkan aku menjadi idola. Mungkin salah satu kunci untuk menjadi idola hanyalah menjadi diri sendiri dan percaya dengan hasil jerih payah yang kulakukan.

Menjadi idola di lingkup keluarga dan teman saja sudah membuatku bahagia. Aku tinggal menunggu waktu yang tepat untuk memperluas jumlah pengagumku. Siapa tahu aku bisa menyamai para aktor, musisi, dan tokoh politik yang selama ini kukagumi. Tentunya karena prestasi yang selama ini kuukir.

#NulisRandom2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar