Table For Four
an original fiction by Anya Teresa
Characters Disclaimer:
Winda Raharjo & Adi Sukarno (c) Hime Hoshina
Miro Chirarc & Rania Mikkola (c) chokowoskibeel/Nab
Antti & Annikki Iisalo (c) me
Suasana di kafe berpelang Espresso Edge itu dapat dikatakan seperti sebuah sarang burung yang terletak di dalam pohon sebuah hutan yang sangat ramai oleh hewan liar. Apabila seseorang baru pertama memasukinya, kedua mata akan disuguhi oleh warna hijau limun, oranye dan kuning yang menyegarkan sekaligus hangat. Foto-foto pemandangan yang dipajang di kafe tersebut seakan menambah kesan modern pada sebuah kafe yang terletak di Helsinki, Finlandia -- jantung sebuah negara maju yang pesat perkembangannya. Tak heran, kafe itu selalu ramai oleh pengunjung setiap harinya. Belum lagi fasilitas wi-fi gratis dan cepat yang cukup menggoda iman para pekerja freelance, pelajar maupun mahasiswa untuk mengunjungi kafe tersebut sembari makan dan bekerja atau mengerjakan tugas.
Pintu kafe tersebut terbuka perlahan, dan muncullah sesosok pria yang tingginya melebihi rata-rata tinggi pria yang mengunjungi kafe tersebut. Apabila menurut data yang sudah ada tinggi rata-rata pria di negara tersebut adalah 180 sentimeter, tinggi pria itu lima sentimeter lebih tinggi. Menurut informasi yang beredar, pria itu mewariskan tinggi badannya dari ibunya yang orang Swedia. Warna kulit pria itu tidak pucat seperti para pengunjung kafe yang lain, dapat dikatakan warnanya putih langsat. Wajahnya berbentuk lonjong dengan rahang bersegi. Sekilas, dari fitur wajahnya dia akan disangka sebagai orang yang memiliki darah campuran Asia Timur-Eropa – terutama karena netra biru lautnya yang seakan tersembunyi di balik lipatan derma wajahnya yang dibingkai oleh alis yang cukup tebal. Di atas kepalanya tumbuh surai coklat kopi lurus yang agak berantakan karena mungkin tertiup angin. Dia bisa saja disangka orang Jepang atau Korea kalau saja dia tidak jangkung dan berhidung bangir.
Semua mata pengunjung kafe tersebut tertuju pada Antti Iisalo – nama pria muda yang rupawan tersebut, terutama kaum wanita. Pria itu nampak gagah dengan jaket kulit berwarna hitam yang melapisi kaos putih polos yang dipakainya. Kaki jenjangnya dibalut dengan celana jins berwarna biru gelap yang sudah sobek sedikit di bagian lututnya. Derap langkah sepatu bertali berwarna hitam yang dipakainya nyaris terdengar di seluruh ruangan kafe tersebut. Netra biru laut milik Antti hanya bisa balas menatap para pengunjung kafe itu dingin, tanpa senyuman sama sekali. Tatapan dari para wanita yang seakan-akan ingin memakan dia hidup-hidup, sudah menjadi makanan bagi Antti sehari-hari. Apalagi, mereka semakin nampak “mulai lapar” mengetahui Antti yang baru putus dari pacarnya beberapa bulan yang lalu.
“Ran, bukannya itu Antti Iisalo? Musisi independen yang terkenal itu?” ucap seorang gadis berambut coklat muda yang dikepang ke arah samping dengan nada berbisik-bisik. Gadis itu sedang duduk di salah satu meja kafe yang terletak di paling pojok ruangan sembari mengangkat cangkir kopinya. Sementara itu, temannya yang berambut pirang sebahu dengan bando merah di kepalanya menoleh ke arah pria itu dan memperhatikannya sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya untuk memastikan apa yang dikatakan oleh temannya itu benar.
“Iya, Miro. Kok, bisa-bisanya dia ada di sini, ya? Tumben, mata kamu lebih jeli dari mataku.” balas si gadis pirang itu sambil menatap temannya sejenak dan membetulkan poninya yang berantakan.
“Asal kamu tahu saja, aku kan ngefans berat sama dia! Sudah ganteng, berbakat, sayang keluarga lagi. Eh, Ran...dia udah punya pacar baru lagi belum?” gumam si gadis berambut coklat yang memakai gaun tanpa lengan yang berwarna merah jambu pastel sambil terus memperhatikan Antti yang sedang lewat.
“Aku dengar, sih sampai sekarang Antti belum punya pacar semenjak mutusin mantan terakhirnya, si model lingerie yang baru tujuh belas tahun itu. Mendingan aku aja yang jadi pacarnya, deh.” ucap si temannya yang berambut pirang sambil mengaduk-aduk latte yang dipesannya dengan wajah bosan. Sepertinya gadis itu sudah terlalu bosan dengan tingkah temannya yang seperti fangirl ngenes yang berharap untuk bisa berpacaran dengan idolanya suatu saat. Si gadis pirang berdecak pelan mendengar kata-kata temannya itu.
“Duh, Miro jangan berdelusi napa? Tingkahmu persis seperti jomblo ngenes. Umurnya sudah dua puluh tiga tahun. Kamu baru empat belas! Masih waras, kan?” ujar si gadis pirang itu kesal sambil menampar wajah temannya dengan majalah fashion yang diletakkannya di atas meja kafe tersebut.
Sementara itu, Antti melangkah menuju bar tempat pemesanan yang berbentuk huruf “J” apabila dilihat dari atas. Bar tempat pemesanan itu memiliki desain yang sangat unik, bagian dinding barnya terdiri dari dua sisi. Satu sisi yang nampak jelas dari depan ditempel dengan keramik berwarna oranye, kuning dan hitam, sedangkan sisi yang lain didominasi oleh warna cobalt blue dan ditempeli oleh mozaik bernuansa warna pastel. Warna hijau limun membingkai salah satu rak display menu yang berisi beberapa piring dan sampel kue dan dua buah cermin tempat mereka menuliskan daftar menu beserta harga-harganya dengan krayon di sisi kiri dan kanan rak tempat meletakkan botol dan gelas. Pria muda itu meletakkan tangannya di permukaan atas bar tempat pemesanan yang terbuat dari kayu untuk memikirkan apa yang akan dipesannya.
Kembali lagi ke sisi pintu kafe yang hanya sebesar pintu sebuah kamar, pintu kembali terbuka beberapa menit setelah Antti masuk. Kali ini yang masuk bukanlah seorang pesohor seperti Antti, melainkan seorang turis asing. Lagi-lagi, seorang pria muda tampan dan berkulit eksotis (menurut pendapat para pengunjung kafe yang rata-rata orang Eropa), masuk ke dalam kafe tersebut sambil membawa buku panduan menjelajahi kota. Dari wajah dan warna kulit serta rambutnya yang jauh lebih gelap dari para pengunjung kafe lain yang berwajah pucat, sepertinya pria itu berasal dari Asia bagian Tenggara. Meskipun asalnya bukan dari Eropa, namun tingginya menyamai rata-rata tinggi pria yang mengunjungi kafe tersebut. Penampilannya nampak kasual dengan kaos merah bernomor 19 yang berlengan hitam, celana jins biru muda, tas selempang berwarna hitam yang entah apa isinya dan sandal gunung.
Dua orang gadis yang sejak tadi duduk di pojokan kafe tersebut memperhatikan si pria muda yang baru masuk kafe itu. Sepertinya dua gadis remaja ini hanya mengunjungi kafe tersebut untuk berburu cowok ganteng untuk cuci mata setelah penat di rumah maupun di sekolah mereka masing-masing. Lumayan, ada hiburan untuk liburan musim panas bagi dua gadis remaja yang masih labil tersebut.
“Eh, Ran? Tumben ada orang Indonesia main ke sini? Bukannya jarang ada orang Indonesia cari beasiswa ke Finlandia?” tanya si gadis berkepang satu tersebut pada temannya. Si pirang yang sedang asyik menikmati fasilitas wi-fi yang tersedia di kafe tersebut dengan cara membuka website Tumblr dan mengunduh lagu di netbook yang dibawanya sejak tadi menoleh ke arahnya dengan tatapan yang mengatakan bahwa dia adalah seorang jomblo ngenes.
“Nggak tahu, anak pertukaran mahasiswa kali. Mukanya aja masih muda banget kelihatannya. Tapi, kalau aku lihat auranya itu orang nggak enak.” ucap si pirang sambil terus melakukan browsing di laptopnya tanpa memperhatikan detil-detil wajah pria turis asing yang baru masuk itu. “Emang kenapa, Mir? Mau nanyain kalau dia masih single atau enggak? Tanya aja sendiri...”
Entah itu kebetulan semata atau mengapa, si pria itu lewat di depan dua orang remaja yang memperhatikannya sejak tadi. Pria itu hanya dapat menatap dua orang gadis itu dengan sorot mata seakan-akan dia tidak minta untuk didekati oleh siapapun. Dari tatapan matanya, turis asing itu seakan berkata: “Jauh-jauh kalian dariku, wahai remaja-remaja genit!”. Dua remaja yang memanfaatkan waktu nongkrong di kafe tersebut untuk melakukan pencarian pada lelaki tampan yang enak dilihat, langsung bergidik ngeri melihat turis asing yang menatap mereka dengan tatapan mata yang mengancam seperti ingin membunuh mereka di tempat itu. Si turis asing juga melangkah ke arah bar tempat pemesanan yang sama dengan Antti dan berdiri di sampingnya. Dua orang itu memutuskan untuk memesan minuman yang sama, yakni kopi pahit entah karena mereka bisa membaca pikiran masing-masing atau keduanya sama-sama bingung mau memesan apa.
Mereka berdua beranjak dari bar tempat mereka berdua memesan, dan mulai mencari meja yang kosong. Saat itu kira-kira pukul lima sore, dan kafe sedang jam ramai-ramainya oleh para pegawai kantoran yang baru selesai bekerja. Netra biru laut dan netra hitam milik dua orang itu sama-sama bertubrukan pada sebuah meja yang kosong, satu-satunya meja kosong yang ada di kafe tersebut. Iris azurite milik Antti memandang obsidian tajam milik si turis asing. Si turis asing yang belum diketahui namanya itu merasa dirinya dipandang dengan tatapan menjijikkan oleh seorang penduduk lokal. Instingnya mengatakan bahwa penduduk Finlandia itu sama saja dengan orang-orang Barat lainnya yang kebanyakan bersifat rasis terhadap pendatang asal Asia. Pasti orang ini mau mengajaknya bertengkar secara fisik lagi. Kalau dia memang benar-benar akan mengajaknya bertengkar fisik karena urusan meja, dia akan meladeninya.
Ibarat turis asing yang menatapnya sinis itu sudah menyulut api, Antti sendiri sudah memasang benteng es. Logikanya, kekuatan api dan es akan saling melukai. Pertama-tama, es akan bisa dilelehkan dengan mudah oleh api namun pada akhirnya api akan berhasil dipadamkan oleh air yang melelehkan es itu. Apabila si turis asing ini ingin mengajaknya bertengkar secara fisik, Antti tidak takut untuk melawan dia meskipun tubuh si turis asing itu agak berisi sedangkan tubuhnya kurus tinggi karena terlalu lelah bekerja. Silahkan saja, kalau bertengkar secara fisik adalah cara penyelesaian masalah yang terbaik menurut kebudayaan yang dianutnya. Main fisik bukan zamannya lagi, begitu batin Antti.
"Caramu memandangku itu menjijikkan. Kau mau aku hajar habis-habisan karena tingkahmu yang rasis? Katakan saja kalau kau tidak mau makan satu meja denganku." desis si turis asing itu dengan nada dingin. Mendengar apa yang dikatakan oleh turis asing tersebut Antti tersentak.
Tidak, Antti tidak dapat terima kalau seseorang mengatakan bahwa dia adalah seseorang yang rasis. Tatapan sepasang azzurite milik Antti memang sering disalahartikan sebagai tatapan jijik atau kesal dengan orang yang ada di sekitarnya. Obsidian milik si turis asing berhasil ditangkap oleh air danau yang ada di dalam kedua iris pria berayahkan orang Finlandia dan beribukan orang Swedia itu. Kedua netra Antti seakan menerawang masuk ke dalam sepasang netra hitam itu untuk mencari sesuatu yang salah di dalam diri orang ini. Pikirannya tidak dapat menerima pernyataan ini, perasaannya juga. Raut wajah pria berusia dua puluh tiga tahun itu berubah kesal. Bukan kesal karena dia harus satu meja dengan orang asing, Antti gondok karena lagi-lagi orang salah memahaminya. Yah, Antti memang seorang pria yang tidak mudah ditebak karena suasana hatinya seperti ayunan. Terkadang tidak bergerak dan diam di tempat, tetapi kalau sedikit saja disentuh dengan cara yang kasar ayunan bisa saja berayun ke atas dan mencapai titik kemarahan tertinggi atau ke bawah, yakni titik kesedihan dan keputusasaan terendah.
Antti mengedipkan kedua matanya sejenak, seakan-akan dia menemukan sesuatu di dalam orang ini yang salah, menarik nafas panjang, dan berkata dengan tenang untuk menghadapi si turis asing yang menyulut emosinya sambil melipat kedua tangannya di depan dada, "Aku tahu, cara terbaikmu menyelesaikan masalah ini adalah dengan cara fisik. Sebenarnya, aku tidak suka kalau aku harus main fisik. Tapi, kalau kau memang mau main fisik denganku, aku beri kau kesempatan. Lagipula aku tidak takut menghadapimu."
Bukannya semakin tenang, si turis asing ini malah semakin disulut oleh api kemarahan yang sangat besar. Kemudian si turis asing itu menggulung lengan bajunya, mengepalkan tinju dan berujar pada Antti, "Meremehkanku? Ayo maju kalau berani! Kau akan dipermalukan nantinya!"
"Hahaha...kau pikir aku laki-laki pengecut? Oke, kita akan selesaikan ini sesuai permintaanmu." ucap Antti dengan nada tenang seakan-akan tidak ada sesuatu yang berbahaya yang akan terjadi padanya. Antti sudah sangat sering menemui tipe-tipe orang yang membuat suasana hatinya berayun dari stabil ke arah kemarahan tingkat tinggi dan tak gentar untuk menghajarnya habis-habisan hingga babak belur. Masa bodo kalau citranya sebagai musisi independen hancur total gara-gara peristiwa ini. Inilah Antti yang sebenarnya. Terjadilah baku hantam antara dua lelaki di kafe tersebut, suasana kafe yang tadinya damai berubah menjadi panas karena semua pengunjung kafe malah menyaksikannya sebagai tontonan liburan musim panas.
****
Sementara itu di sudut kota lain yang tidak jauh dari kafe tempat terjadinya peristiwa baku hantam tersebut, nampak seorang gadis bertubuh mungil yang seakan-akan tenggelam di lautan manusia yang bertubuh tinggi di kota tersebut. Sosoknya terus bergentayangan di antara gedung-gedung tua bernuansa warna coklat pastel yang dan pepohonan hijau di sudut kota. Gadis berambut hitam bergelombang yang panjangnya sepunggung itu sepertinya punya kelemahan yang fatal kalau berada di negeri orang, yaitu buta arah. Buta arah akan membawanya dalam bahaya besar seperti misalnya dirampok atau diperkosa. Sepengetahuan gadis itu, negara ini adalah salah satu negara yang paling aman sedunia. Kalau mau nyasar berapa kali pun dia akan baik-baik saja, begitu pikirnya. Masyarakat lokal yang ada di sekitarnya menatapnya dengan tatapan dingin dan tidak acuh, seperti es walaupun saat itu sedang musim panas di kota tersebut.
"Duh! Nyasar lagi! Mana ini negara orang!" keluh gadis itu sambil menghentakkan satu kakinya kesal.
"Padahal, aku sangat yakin kalau arahnya benar!"
Gadis itu, Winda Arimbi Raharjo -- sangat membenci tempat ini pada pandangan pertama. Sangat benci. Tempat ini rasanya seperti neraka baginya. Mungkin neraka ganda, neraka versi kitab suci dan Valhalla versi mitologi Nordik. Kalau masalah udara di kota itu memang setidaknya lebih bersahabat, namun orang-orang di kota ini menatap gadis itu seakan-akan ingin membekukan Winda di tempat. Neraka versi mitologi Nordik itu menciptakan neraka versi kitab suci sendiri dalam diri Winda yang kesal pada dirinya sendiri karena tidak tahu harus apa. Tangan mungil Winda meremas-remas peta kota Helsinki yang dibawanya sepanjang jalan tanda kecewa dengan dirinya sendiri. Lelah wara-wiri sejak tadi, Winda memutuskan untuk bersandar sejenak pada tembok sebuah bangunan tua. Merasa gerah karena rambut panjangnya tergerai, gadis itu mengambil ikat rambut dari tasnya dan mengikat rambutnya ke belakang. Bodohnya lagi, Winda tidak membawa kamus maupun buku saku yang berisi kalimat-kalimat dalam bahasa Finlandia untuk menghadapi keadaan darurat. Apakah kakak tirinya lupa menyerahkan buku itu padanya? Ini benar-benar gawat, Winda bisa mati konyol karena kesasar di negeri orang. Sudah jatuh tertimpa tangga, itu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi Winda pada saat itu.
Winda hanya bisa menghela nafas dan pasrah saja akan nasibnya dan berharap ada orang yang mau menolongnya di saat-saat seperti ini. Sebenarnya, orang-orang di kota ini banyak yang bisa berbahasa Inggris. Hanya saja, Winda takut kalau mereka tidak mau diajak berbicara dalam bahasa Inggris. Gadis itu kembali mengingat-ingat kalimat darurat dalam bahasa Finlandia yang ada di buku saku yang sekarang masih ada di tangan kakak tirinya. Oh, ya! Winda ingat satu kata yang digunakan untuk meminta tolong pada seseorang. Namun, sepertinya ini bukan saatnya Winda untuk menggunakannya karena belum ada orang lewat yang wajahnya meyakinkan. Saat seorang gadis keluar dari salah satu pintu gedung tua itu sambil membawa beberapa barang belanjaan, Winda merasa bahwa aura yang dimiliki gadis yang sepertinya seumuran dengannya ini berbeda dengan warga kota yang lainnya.
Pancaran mata biru laut gadis itu cerah dan bening, seakan bisa mengeluarkan cahaya yang dapat menghangatkan orang yang ada di sekitarnya. Secara penampilan, gadis itu tidak dapat dikatakan cantik, tetapi justru manis.Postur tubuhnya hanya sekitar enam sampai tujuh sentimeter lebih tinggi dari Winda dengan berat badan yang dapat dikatakan ideal untuk tubuh setinggi itu. Wajah gadis itu berbentuk nyaris bulat karena kedua pipinya yang bisa dikatakan chubby. Rambut coklat susu yang tumbuh hanya sampai setengah leher gadis tersebut dibuat semakin manis dengan pita putih di sisi kiri, membingkai wajahnya. Kulitnya memang agak pucat seperti warga kota yang lain, namun di kedua pipinya ada sedikit semburat yang berwarna merah jambu. Dia tampak manis dengan gaun tanpa lengan bermodel sailor yang bernuansa biru tua dan putih serta flat shoes yang senada dengan warna gaunnya. Winda menoleh penuh harap pada si gadis tersebut. Gadis itu memang seperti malaikat jatuh tanpa sayap, bukan iblis pembeku. Winda menoleh sejenak ke arah gadis itu dan merasa bahwa inilah saat yang tetap untuk mengatakannya, "Apua!"
Mendengar seseorang yang berkata "apua", gadis itu segera menoleh dan melangkah mendekati Winda. Kalau dalam bahasa Finlandia, kata itu berarti ada seseorang yang meminta tolong. Kemudian, si gadis itu menepuk pundaknya pelan. Winda tidak tahu apa yang harus dia lakukan karena dia tidak tahu apa kata-kata yang tepat untuk mengatakan bahwa dia sedang tersesat pada gadis itu. Haruskah dia bertengkar dengan gadis yang berwajah seperti pecinta damai itu? Beberapa detik kemudian, si gadis tersenyum pada Winda dan bertanya dengan ramah, "Voinkoo auttaa?" (ada yang bisa dibantu?)
Winda yang lupa apa arti istilah itu segera memutarkan bola mata coklat tanahnya, bingung sekaligus kesal pada si gadis itu. "Bisakah kamu berbicara dalam bahasa yang lebih aku mengerti?"
Gadis itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum malu-malu pada Winda. Sepertinya gadis ini adalah tipikal orang yang dapat dipercaya. Namun, sudah berkali-kali kakak tirinya mengingatkan bahwa jangan mudah percaya pada orang asing. Dan kebodohan ketiga yang Winda perbuat adalah, langsung percaya pada orang asing yang entah dari mana asal usulnya. Gadis itu memang nampak manis dari luar, tetapi di dalamnya siapa yang tahu? Mungkin saja gadis itu sengaja diturunkan untuk menyaring korban perdagangan manusia, atau bisa saja gadis itu sudah tidur dengan banyak laki-laki.
"Aku benar-benar minta maaf padamu, terkadang aku kelepasan dalam berbicara dalam bahasa ibuku." ucap gadis itu kikuk sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. Gadis aneh, begitu batin Winda. "Jadi, apakah ada yang bisa kubantu?"
"Tidak masalah," ucap Winda yang selalu mengalami hal yang sama ketika dia berlibur ke daerah lain di Indonesia, yaitu keceplosan pakai bahasa Bali. Kemudian Winda mengembalikan peta kota Helsinki yang dipegangnya sedari tadi, membukanya perlahan dan menunjuk tanda "X" di peta tersebut. "Begini, aku mau ke tempat yang ditandai oleh kakakku di sini."
Gadis berambut coklat susu itu menyibakkan poninya dan memperhatikan peta tersebut dalam waktu beberapa detik, kemudian memberikan sebuah kesimpulan yang mengejutkan bagi Winda sambil menunjuk gambar sebuah garis yang menunjukkan sebuah jalan di peta. "Kamu sudah tersesat terlalu jauh dari tujuanmu. Sekarang kamu ada di Liisankatu, dan tempat yang ditandai di peta sangat jauh dari sini."
"Dari mana kau tahu? Liisankatu? Bukankah di peta jalan ini namanya Elisabetsgatan?" tanya Winda yang bingung dengan peta yang sejak tadi dipegangnya. Jadi, sebenarnya sekarang Winda sedang ada di Elisabetsgatan atau Liisankatu? Penataan kota di Helsinki patut dipertanyakan.
"Aku sudah merekam setiap sudut kota ini, dan yang kamu pegang itu peta dalam bahasa Swedia. Sebenarnya Liisankatu dan Elisabetsgatan itu sama saja, kok. Kan, tadi aku hanya menerjemahkan dari bahasa Swedia ke bahasa Finlandia." ucap gadis itu mantap. Ada dua hal yang patut Winda pertanyakan. Hal pertama, mengapa nama-nama jalan maupun tempat di kota Helsinki dibuat dalam dua bahasa? Yang kedua, apa yang dimaksud gadis itu dengan istilah merekam setiap sudut kota? Gadis yang Winda temui kali ini, kelihatannya bukan gadis biasa. Mungkin saja dia adalah satu dari sekian banyak orang yang punya kemampuan khusus dengan pikirannya.
"Kenapa nama jalan saja harus pakai dua bahasa? Aku yang buta arah, malah semakin bingung dengan dua bahasa. Satu bahasa saja susah, apa lagi dua! Lalu, apa maksudmu dengan merekam?" Winda menghujam si gadis misterius dengan banyak pertanyaan yang tadi disimpannya. Gadis itu hanya menjawab dengan tawa kecil dan gelengan kepala, seakan-akan mengatakan dalam hati kalau Winda terlalu polos untuk tahu hal semacam itu.
"Jawabannya akan terlalu panjang kalau aku yang menjelaskan di sini. Aku bisa mengantarmu ke tempat itu, kalau kau mau." ucap gadis itu riang. Wajah Winda yang tadinya nampak kesal, langsung sumringah mendengar perkataan si gadis itu.
"Seriusan? Terima kasih banyak, kau malaikatku!" ujar Winda yang suasana hatinya mulai berubah. Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar pada Winda. Winda langsung menghambur dan memeluk gadis yang belum dikenalnya tersebut. Si gadis misterius hanya tersenyum saja mengetahui bahwa dirinya sedang dipeluk oleh seseorang, dan dia juga sebenarnya merasa risih dipeluk-peluk kemudian perlahan melepaskan diri dari pelukan Winda. Kalau tidak ada si gadis itu, Winda bisa saja mati konyol di negara orang lain.
Tangan mungil gadis berkulit kuning langsat itu diulurkan ke arah si gadis misterius yang telah menolongnya. "Namaku Winda, aku senang bertemu denganmu."
Jemari merah jambu muda milik si gadis misterius itu menjabat tangan Winda, bibir merah jambu milik gadis itu menyungging senyuman. "Begitu juga denganku, aku Annikki Iisalo. Oh, iya! Perjalanan yang kita lalui akan sangat jauh, jadi bagaimana kalau kita makan dulu di kafe yang ada di dekat sini?"
Mendengar kata "makan", Winda segera menjilat bibirnya tanda kelaparan setelah berjam-jam mondar-mandir di jalan-jalan kota Helsinki yang entah-apa-namanya-itu. "Mau! Kebetulan aku juga lapar sejak tadi."
"Kalau begitu, ayo ikuti aku!" ujar Annikki riang sambil mulai melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Annikki melangkah terlalu cepat, sehingga Winda tidak bisa mengikutinya karena dia terbiasa berjalan lambat di tempat tinggalnya.
"Bisakah kau berjalan lebih lambat sedikit? Nanti aku nyasar lagi!" ujar Winda yang merasa tertinggal jauh oleh teman barunya itu. Annikki yang mendengarnya segera menarik tangan Winda dan menggandengnya.
"Berjalan di sampingku, jangan di belakangku. Dengan begitu kau tidak akan tersesat." ucap Annikki untuk menenangkan Winda.
****
Annikki menggandeng tangan teman barunya menuju pintu kafe yang berpelang Espresso Edge. Winda berpikir bahwa dari pintu masuk yang sebesar pintu kamar saja, isi kafe ini tidak meyakinkan. Apakah Annikki serius mengajaknya makan di tempat seperti ini? Di sisi lain Annikki sendiri sudah jutaan kali mengunjungi tempat ini bersama kakak laki-lakinya, teman-teman sekolahnya, atau teman-teman kakak laki-lakinya sesama musisi independen. Kafe ini termasuk kafe yang banyak direkomendasikan untuk turis asing yang mau berkunjung ke kota ini. Hal yang gadis itu suka dari kafe ini adalah rasa makanannya yang lumayan enak, biarpun harganya juga cukup mahal untuk kantongnya dan fasilitas wi-fi yang menggoda para pelajar sepertinya.
Sekali lagi, bibir gadis itu menyungging senyuman manis, seakan-akan dalam hatinya dia berkata, "Ayolah. Ini akan sangat menyenangkan!"
Winda hanya dapat menganggukkan kepalanya pasrah, dan membuka pintu kafe tersebut dengan penuh rasa ragu. Saat kedua netra kecokelatan miliknya memperhatikan interior kafe tersebut, dia merasa kafe ini tidak jauh berbeda dengan kafe-kafe tempat anak gaul nongkrong di Jakarta. Interiornya sederhana, namun kafe tersebut memiliki kesan modern dan mahal. Seharusnya apabila dilihat dari interiornya yang menenangkan mata siapapun yang melihat hal tersebut, kafe ini juga menyuguhkan suasana yang sama. Namun, yang terlihat adalah suasana yang ricuh seperti kafe yang penuh dengan suporter bola. Setahu Winda, negara ini tidak terkenal dengan sepak bola.
"Annikki, kok di sini ribut banget?" tanya Winda yang memandangi para pengunjung kafe yang seakan-akan menyoraki sebuah tontonan. Annikki hanya mengangkat bahunya, kemudian netra birunya berputar-putar mengabsen seluruh ruang kafe tersebut.
Jepret!
Lensa matanya kali ini memotret pemandangan yang mengejutkan. Tidak jauh dari bar tempat pemesanan ada dua orang lelaki yang sedang berbaku hantam. Kedua mata Annikki membelalak syok melihatnya karena salah satu dari dua lelaki yang sedang berbaku hantam itu adalah kakak kandungnya sendiri, yaitu Antti. Annikki kaget melihat kakak kandungnya melepaskan semua pencitraan yang sudah dijaganya sejak pertama kali terjun dalam dunia musik beberapa tahun yang lalu. Antti sudah menunjukkan jati dirinya yang asli, pria yang tidak dapat ditebak.
"Ternyata di sana sumber masalahnya!" ujar Annikki kaget sambil menunjuk ke arah dua orang lelaki itu.
Winda menoleh ke arah yang ditunjuk teman barunya dan ikut syok melihat adegan yang dijadikan tontonan tersebut. Laki-laki yang memakai kaos itu tidak salah lagi -- kakak tirinya sendiri. Kakak tirinya sebegitu berani berusaha menghajar orang asing yang namanya saja belum tentu dia ketahui. Adegan berikutnya membuat Winda semakin kaget melihatnya, kakak tirinya berhasil dikalahkan oleh si orang asing dengan mudah. Melihat sosok kakak tirinya yang sudah kehabisan energi, seluruh pengunjung kafe bertepuk tangan seperti sekelompok orang sadistik yang suka melihat orang lain teraniaya. Dari pintu kecil yang terletak di dekat bar pemesanan, muncul seorang wanita paruh baya berambut pirang dan penuh rol, agak gemuk dan pendek. Wanita itu memakai gaun lengan pendek selutut berwarna merah. Wajahnya nampak sangat kesal dan dia muncul dengan bahasa tubuh kedua tangan ada di pinggang.
"Heran, gak biasanya Mas Adi dikalahkan oleh orang lain dengan mudah..." batin Winda yang mengetahui kalau kakak tirinya tidak pernah bisa dikalahkan oleh siapapun seumur hidup. Termasuk pria asing yang nampaknya lemah karena memiliki tubuh yang seperti tiang listrik ini.
"Eh, apaan dari tadi ribut-ribut? Ganggu orang tidur aja!" ujar wanita gemuk yang sepertinya adalah pemilik kafe tersebut. Seluruh pengunjung kafe terdiam mendengar kata-kata wanita gemuk itu. Beberapa menit kemudian, wanita itu langsung kembali ke sarangnya. Winda dan Annikki segera menghambur ke arah tempat peristiwa baku hantam terjadi.
Peristiwa yang terjadi selanjutnya, membuat Winda dan Annikki terpaku di tempat dan tidak tahu harus melakukan apa. Rasanya mereka ingin menjerit tanda histeris melihatnya, namun ini adalah tempat umum. Antti yang melihat kedatangan adik perempuannya beserta teman barunya ke kafe tersebut mengalihkan perhatiannya sejenak pada dua pasang mata yang nampak lugu itu, seakan-akan mereka tidak tahu apa yang terjadi. Netra biru laut milik Antti beralih pada pemuda asing yang tadi menantangnya bertengkar secara fisik. Ayunan suasana hati Antti kembali berayun, kali ini tidak kembali ke posisi stabil. Sebenarnya pada beberapa hari terakhir ini pria itu sedang masa peralihan dari tingkat emosi tinggi ke tingkat emosi yang paling rendah, yaitu depresi.
Otot-otot tubuh pria itu melemas dan membuat seakan ruh dari tubuhnya lepas begitu saja. Antti merasakan bahwa tubuhnya sudah tidak berdaya. Di pelupuk netra biru lautnya, muncul setitik kristal kecil yang kemudian jatuh dan mengalirkan sungai kecil di pipinya. Refleks, pria itu terjatuh di atas kedua lutut kakinya dan memandangi mata sang turis asing yang disebut Winda dengan nama "Mas Adi" itu. Adi, si turis asing tersebut berusaha bangkit dan menatap heran ke arah Antti yang tiba-tiba menangis. Ada perasaan bersalah dalam hati Adi, mengapa dia tiba-tiba bisa rela begitu saja dihajar orang sekaligus membuat seorang pria yang sepertinya lebih tua darinya menangis. Apa yang telah dilakukannya sampai membuat pria itu menangis?
"Maafkan aku..." gumam Antti sambil memperhatikan Adi yang baru saja dihajarnya sampai babak belur. Azzurite dan obsidian itu saling bertubrukan satu sama lain, dua bibir sejenak terkatup. Sepasang mata hitam itu berhasil dibekukan oleh mata biru yang sedari tadi menatapnya.
"Ini baru pertama kalinya, ada seseorang yang bisa mengalahkanku." ucap Adi pelan sambil menepuk kecil pundak pria muda yang ada di depannya. Tiba-tiba, Antti memeluk si pemuda berkulit coklat itu sambil terus terisak.
"Maafkan aku..." gumamnya lagi sambil terisak dan mengelus-ngelus punggung pria berkulit coklat itu. Sepertinya pria itu sudah berada dalam titik depresi yang paling rendah hingga perasaan bersalah menghantuinya dan membuatnya tertekan. Sementara itu, Adi yang merasakan dirinya dipeluk Antti kaget. Selama delapan belas tahun hidupnya, belum pernah sekalipun dia dipeluk oleh seorang wanita. Detik ini, dia memang dipeluk. Tapi oleh seorang pria asing yang namanya saja belum dia ketahui. Ternyata, yang namanya dipeluk itu...seakan-akan kau bisa saling merasakan satu sama lain dengan derma yang saling bersentuhan. Meskipun derma mereka dihalangi oleh lipatan kain katun serta kulit sintetis.
Adi merasakan ada hukum karma ganda yang mengenai dirinya detik ini. Pertama, dulu waktu SMA pemuda itu sering tawuran bahkan dia adalah ketua geng di sekolahnya. Sudah berapa banyak orang yang berhasil dihajarnya habis-habisan hingga tidak berdaya? Sekarang dirinyalah yang berada dalam posisi semua orang yang telah dihajarnya. Kedua, dia menderita fobia terhadap kaum homoseks. Detik ini juga, dia telah menjadi korban seorang lelaki asing yang diduga homoseks. Di sisi lain, kedua remaja yang sejak tadi di pojokan itu juga memutuskan untuk mengakhiri acara nongkrongnya di kafe karena melihat pemandangan yang tidak mengenakkan di depan mata.
Si remaja yang berambut coklat terang berkata pada temannya saat melihat adegan pelukan itu, “Ran, aku nggak mau nongkrong di kafe ini lagi. Ternyata kafe ini banyak homonya.”
“Kurasa ini hanya kafe biasa, bukan kafe khusus kaum LGBT.” bantah temannya. “Tapi kalau Miro nggak suka di sini, kita cari kafe yang lain saja.”
Pada akhirnya dua remaja putri itu memutuskan untuk meletakkan beberapa lembar Euro di atas meja mereka, kemudian meninggalkan kafe tersebut dengan kesal. Sementara itu, inilah yang terjadi pada dua laki-laki yang tengah berpelukan. Mereka merasa risih dipandang banyak orang sejak tadi, dan memutuskan untuk menghentikan adegan yang tidak enak dilihat sekian banyak orang itu.
"Ini juga pertama kalinya aku merasakan yang namanya dipeluk cowok. Tapi, aku risih lama-lama. Lepas, atau aku akan balas menghajarmu!" gerutu Adi pelan dalam pelukan pria yang hanya beberapa sentimeter lebih tinggi darinya. Antti melepaskan pelukannya perlahan dan bangkit berdiri, kemudian mengulurkan tangan kanannya ke arah Adi.
“Apa maksudmu?” ujar Adi dengan nada yang masih menantang melihat isyarat yang dibuat oleh Antti. Antti tersentak mendengar kata-kata Adi yang malah menantangnya. Niat baiknya lagi-lagi disalahpahamkan.
“Aku bantu kau berdiri.” ucap Antti lembut yang kemudian tersenyum penuh arti.
“Eh! Aku bisa berdiri sendiri tahu!” bantah Adi yang berusaha bangkit sendiri namun tiba-tiba tubuhnya terhuyung karena kehilangan keseimbangan. Antti yang mengetahui itu langsung menahan tubuh si turis asing itu agar tidak terjatuh. “Terima kasih banyak...”
“Kau salah paham, sebenarnya aku juga tidak pernah mempermasalahkan soal meja. Lagipula aku tidak mempermasalahkan sama sekali aku harus semeja dengan siapa. Aku, kan tidak rasis.” Antti merespon dengan nada bicara yang masih lembut, tetapi masih sedikit terisak.
“Seharusnya bilang dari tadi! Tahu begini, aku gak harus babak belur dihajar sama kamu, kan? Gak malu jadi bahan tontonan?” ujar si lawan bicara Antti yang kesal dan merasa bahwa hal itu tidak perlu terjadi. Namun, apa boleh buat. Yang sudah berlalu biarkan saja berlalu.
“Ya...kau yang mengajakku bertengkar secara fisik terlebih dahulu. Aku akan selalu memberi yang orang lain minta. Kau yang meminta itu, kan? Itu yang aku berikan.” gumam Antti dengan nada yang mulai tenang karena mengetahui keberadaan adik perempuannya yang setidaknya bisa kembali membuat emosinya terkesan stabil. Namun, sesungguhnya Antti masih mengalami depresi yang suka datang dan pergi di saat yang tidak tepat. Pria bertubuh tinggi itu mendudukkan dirinya di kursi.
Pria itu mengambil tempat duduk di depan Antti. “Lagipula sebenarnya aku juga yang salah karena menilai orang terlalu cepat. Kau tidak perlu merasa bersalah seperti itu.”
Winda dan Annikki yang masih saja terdiam karena tidak tahu mau melakukan apa, segera mengambil posisi duduk di samping kakak mereka masing-masing. Pria berkulit coklat itu memperhatikan Annikki dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, sementara itu Antti menoleh pada Winda yang duduk di sebelah Adi. Kedua pria muda itu merasa heran mengapa adik-adik mereka dapat menjadi akrab hanya dalam waktu dekat. Mungkin saja kedua gadis itu sama-sama belum mengetahui isi kemasan mereka masing-masing yang nampak polos dari luar, namun di dalamnya mereka memiliki suatu "anugerah yang lebih besar".
"Winda, jadi itu teman barumu? Sudah berapa kali kubilang, kau jangan percaya padanya begitu saja!" ujar Adi sambil menoleh ke arah Winda.
"Mas Adi, kalau nggak ada Annikki aku nggak akan bisa sampai ke sini." ucap Winda pelan sambil menunjuk ke arah teman barunya itu. Si gadis yang merasa ditunjuk oleh Winda hanya bisa bangkit sejenak dari buku yang dibacanya, kemudian tersenyum kecil pada Adi. Sepasang iris biru milik Adi menatap kedua iris biru laut Annikki, kemudian mengangguk-nganggukkan kepalanya pelan.
"Pacarmu itu baik juga, cantik lagi. Untung saja ada dia, aku tidak dapat membayangkan bagaimana nasib Winda selanjutnya." ucap Adi yang kali ini mengalihkan perhatiannya pada Antti. Antti yang mendengar kata-kata pria itu langsung tersentak kaget. Pacar?
Semenjak Antti memutuskan hubungan dengan si model lingerie yang hanya berselang usia satu tahun lebih tua dari adiknya karena sifat matrealistis dan galak yang sangat dibencinya, pria muda itu sama sekali belum memiliki niat untuk mencari pacar baru. Annikki yang merupakan adik perempuannya memang sering disangka oleh orang lain sebagai pacarnya karena kalau dibilang sebagai kakak beradik mereka sama sekali tidak memiliki kemiripan. Wajah dan warna kulit adik kandungnya itu memang nampak lebih Eropa karena mewarisi gen fitur wajah beserta warna kulit dari ibu mereka yang berasal dari Swedia, biar begitu tinggi badan tetap saja di bawah rata-rata wanita Finlandia. Antti sendiri hanya mewarisi gen tinggi badan dan mata biru dari ibunya, sisanya betul-betul cetakan dari ayahnya yang memiliki keturunan suku Saami yang tinggal di wilayah Laplandia.
"Pacar? Bukan, Annikki ini adik kandungku." ucap Antti pada Adi sambil menepuk pundak adik kandungnya itu dari belakang. Adi mengerinyitkan dahinya memandangi dua orang berstatus kewarganegaraan Finlandia di depan matanya yang sama sekali tidak pantas kalau disebut sebagai kakak beradik kandung. Annikki mukanya bule banget,sedangkan kakaknya lebih mirip produk hibrida gagal antara ras Mongoloid, ras Slavia, dan ras Nordik.
"Halo! Aku Annikki!" sapa Annikki pada Adi. Pria itu hanya melambaikan tangannya tanpa senyum ke arah gadis berambut coklat itu.
"Kalau adik tiri, masih masuk akal. Lagipula adikmu mukanya cantik, Eropa banget. Sedangkan kau lebih mirip produk gagal Eurasia." ledek Adi sambil mengaduk kopinya. Antti yang merasa tidak terima dikatakan sebagai produk gagal merasa emosi. Yang benar saja, masak keturunan suku Saami disamakan dengan orang-orang Jepang atau Korea yang sama sekali jauh dari kata macho dan lebih mirip pria cantik. Annikki yang sudah melihat perubahan raut wajah kakak kandungnya yang tidak terima disentuh dengan cara apapun, berusaha untuk menenangkan kakaknya agar peristiwa tadi tidak terulang untuk kedua kalinya. Sementara itu Winda yang mendengar kata "adik tiri", hanya bisa nyengir kuda.
"Veli (kakak), nggak usah marah. Lagipula ini sudah orang kesekian yang mengatakan seperti itu, kan?" ucap Annikki riang, berusaha untuk menenangkan kakak laki-lakinya yang memiliki emosi labil. Antti memang nampak kuat dari luar, namun di dalamnya sangat rapuh. Sedikit singgungan pada perasaannya saja membuat raut wajahnya berubah.
"Aku sama sekali nggak punya keturunan Asia walaupun mataku sipit. Asal kau tahu, aku punya keturunan suku Saami yang tinggal di Laplandia. Mereka memang punya mata sipit." ucap Antti yang mencoba menjelaskan tentang ketidakmiripan antara dirinya dan Annikki. Sebenarnya Antti sudah lelah menjelaskan ini ribuan kali pada setiap orang yang ditemuinya. Adi yang mendengarnya hanya mengangguk mengerti.
Winda yang mendengar kata baru dari mulut Antti segera dirundung rasa penasaran, dan suara yang keluar dari bibir kecilnya memutuskan untuk bertanya, "Suku Saami itu apa, ya?"
"Suku Saami itu...suku yang tinggal di bagian utara Finlandia, Swedia dan Norwegia. Kabarnya, mereka itu penduduk asli di wilayah Eropa Utara." jelas Annikki singkat pada Winda. Sesungguhnya, gadis itu bisa menjelaskan soal itu lebih dalam lagi. Namun, hal itu akan berakhir dengan jitakan atau tamparan manis dari Antti untuk menghentikan mulut Annikki yang cerewetnya minta ampun. Winda hanya manggut-manggut mendengar penjelasan singkat teman barunya itu.
"Eh, omong-omong namamu siapa? Aku sebenarnya pingin kenalan sama orang yang sudah mengalahkanku tadi." tanya Adi pada pria Finlandia yang duduk di depannya. Antti merogoh sakunya untuk mengeluarkan dompetnya. Bukan untuk membayar kopi, tetapi untuk mengeluarkan henkilokortti alias KTP kalau di Indonesia. Apabila Antti mengatakan nama aslinya pada orang di luar Eropa, dia langsung berakhir ditertawakan karena namanya yang dapat dikatakan aneh dan menimbulkan sedikit ambiguitas terhadap gender aslinya yang memang seorang laki-laki tulen. Sudah berkali-kali Antti meminta pada orangtuanya untuk mengganti namanya menjadi nama yang lebih maskulin seperti Mikko atau Tuomas, namun permintaan itu tidak pernah digubris. Maka dari itu, Antti memutuskan untuk mengeluarkan kartu identitasnya saja. Bodo amat apa reaksi yang diberikan oleh dua orang itu. Winda dan Annikki hanya tertawa geli mendengar kata-kata Adi yang memiliki maksud yang juga ambigu.
"Nih, namaku ada di situ kan?" jawab Antti sambil mengeluarkan kartu identitasnya dan menyerahkan ke tangan Adi. Kartu identitas itu warnanya biru muda, dengan foto hitam putih Antti entah tahun berapa yang ada dua di situ. Satu ukuran yang lebih besar, dan satu lagi hanya berbentuk seperti cap. Di bagian bawah terdapat tanda tangan Antti yang sepertinya dibubuhkan dengan spidol permanen atau pena bertinta cair. Adi dan Winda segera melihat ke nama yang tertera di kartu identitas itu dan segala data-data lainnya.
"Iisalo? Antti Taisto? Panggilnya Antti atau Taisto, nih?" kikit Winda saat melihat nama yang tertera di kartu identitas milik Antti. Adi baru ingat kalau "Taisto" yang merupakan nama tengah Antti berarti pertarungan atau perkelahian dalam bahasa Finlandia setelah iseng-iseng membaca kamus bahasa Finlandia di telepon genggamnya. Pantas saja sifatnya tadi seakan-akan mengajaknya bertengkar.
"Itu foto kapan? Kok, fotomu jelek banget?" ledek Adi untuk yang kesekian kalinya. Kemudian Adi tersentak kaget melihat tanggal lahir Antti yang tertera di kartu itu, "Kau memang lebih tua dariku ternyata."
"Antti saja. Mana ada foto henkilokortti yang bagus? Lagipula itu foto empat tahun yang lalu. Sini, kembalikan kartunya. Nanti hilang, harus berurusan sama poliisi. Kalau kartunya hilang, aku tak segan-segan mendeportasi kalian." jawab Antti datar sambil mengulurkan tangannya untuk meminta kartu itu kembali.
Kali ini, dia harus bersyukur karena mereka tidak menertawakan nama depannya. Adi mengembalikan kartu berwarna biru muda itu ke tangan Antti, dan pria berambut coklat kopi itu meletakkan kartunya kembali ke dompet. Pria berkulit coklat itu ikut merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan dompet dari dalamnya. Tak lama kemudian, Adi juga mengeluarkan benda yang disebut dengan KTP.
"Salam kenal Antti, namaku Winda." ucap Winda ramah sambil menjabat tangan Antti yang berukuran jauh lebih besar dari tangannya sendiri. Mungkin saja Antti bisa meremukkan telapak tangan Winda apabila dijabat terlalu lama. Di pihak lain, Antti hanya tersenyum kecil kemudian melepaskan jabatan tangannya.
"Kalau kau memperkenalkan diri dengan cara mengeluarkan kartu identitasmu, maka aku juga akan melakukan hal yang sama." ucap Adi mantap sambil menyerahkan KTP-nya ke tangan Antti.
Antti menerima kartu itu dan memperlihatkan isi kartu identitas itu pada adiknya. Winda yang sejak tadi melihat adegan aneh antara Antti dan Adi hanya bisa ketawa-ketawa sendiri. Pertama, kenalan saja pakai cara bertukar KTP. Kedua, KTP-nya sama-sama warna biru muda. Kebetulan macam apa ini?
"Dipanggilnya Adi, ya?" tanya Annikki pada orang yang baru menyerahkan KTP-nya. Adi hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan gadis itu. Annikki mengembalikan kartu itu ke pemiliknya, karena baginya tahu nama saja sudah cukup. Sebenarnya informasi lain dalam KTP milik Adi sudah direkamnya, namun dia tidak mau mengorek identitas orang yang baru dikenalnya karena Annikki tahu kalau itu adalah hal yang tidak sopan. Adi memasukkan kartu vital itu ke dalam dompet dan meletakkan dompet kulit hitam itu kembali ke dalam tas.
Winda memandang sejenak pada dua bersaudara yang ada di depannya itu. "Annikki? Dan Antti? Mohon bantuannya, selama kami berada di sini."
"Iya, kami pasti akan membantu kalian semampu kami. Sekarang kita makan dulu, biar aku yang pesankan." ucap Annikki ramah. Sementara itu, kakaknya hanya tersenyum untuk beberapa detik saja. Winda dan Adi yang tadinya tidak mengenal siapapun di tempat itu pada akhirnya bisa berkenalan dengan dua orang yang kebetulan juga bersaudara, dengan cara yang tidak terduga.
A/N: Aku buat fic ini gara-gara aku punya perasaan kalau Iisalo bersaudara, Adi sama Winda punya image yang sama. Antti sama Adi sama-sama tipe cowok seme badass (ini apa?), liar, serampangan tapi sayang sama adik-adiknya. Sedangkan Annikki sama Winda, kalau di anime aku bayanginnya dua cewek loli yang polos. Lahirlah fic absurd nan ambigu ini :). Dan aku sendiri juga bingung ini cerita mau dibawa ke mana.
Mungkin ada yang punya ide?
Review and concrits are welcome, but no flame.