Selasa, 30 Juni 2015

day 30: unproductiveness

Sebenarnya, aku selalu berusaha untuk menjadi produktif selama liburan yang panjang ini berlangsung. Namun banyak hal yang menghalangi aku untuk mengerjakan sesuatu. Entah rasa minder, kekhawatiran yang tidak jelas atau malas untuk melakukan apapun. Ataukah ini efek suatu pikiran delusional yang membuatku tenggelam dan hanya melamun seharian?

Aku tidak tahu jelas apa yang menyebabkan kurangnya produktivitasku. Ranjang di kamar tidur selalu menggodaku untuk berbaring di atasnya dan bermimpi indah mungkin bisa jadi alasan. Artis-artis favoritku banyak mengeluarkan album dan single baru yang membuatku penasaran untuk mendengar lagunya dan menonton video musik mereka, menghabiskan waktuku. Melihat teman-temanku yang tengah berjalan-jalan ke berbagai tempat atau berpesta sampai malam, ada perasaan bahwa hidupku tidak ada apa-apanya dibanding mereka.

Aku sudah makan beberapa jenis makanan yang bisa menstimulasi saraf otak, memang sedikit berhasil. Namun, otak dan tangan tidak memiliki kesinambungan sama sekali. Setiap ada ide, sulit bagiku untuk merealisasikannya. Mungkin terasa mudah, tapi terkadang banyak yang tidak menghargai hasil karyaku. Bagaimana jadinya kalau aku menjadi orang yang paling dihujat?

Kepalaku pusing memikirkan masalah pribadi, godaan dari luar dan semua hal yang menghalangiku untuk produktif. Terkadang itu semua dapat menjadi inspirasi, namun sayang sekali aku kurang mampu untuk mengekspresikan diri. Apa sebenarnya aku yang terlalu takut akan cemooh buruk itu?

Sudahlah, aku akan tetap memaksa diriku. Bodo amat mereka bilang aku masokis.

#NulisRandom2015

Sabtu, 27 Juni 2015

day 28: deklarasi senja

Senja itu begitu tenang dirasakan dalam sebuah apartemen kecil di Frankfurt am Main. Seorang laki-laki berparas Jerman asli dan teman serumahnya yang orang Asia Timur, duduk berhadap-hadapan. Tanpa suara.

Laki-laki berambut pirang pendek itu tengah mengaduk-ngaduk kopi panasnya, kemudian ia merasakan telepon genggamnya bergetar. Ternyata ada sebuah pesan dari salah seorang teman Facebook-nya. Bola mata biru itu beralih pada layar iPhone-nya, kemudian jemarinya bermain sejenak di atas layar untuk membaca pesan tersebut. Pesan tersebut dikirim oleh satu dari sekian banyak teman perempuan, tepatnya seorang gadis asal Norwegia yang sering curhat dengannya.

"Di, aku seorang lesbian."

Mata laki-laki itu seakan ingin memecahkan layar telepon genggam keluaran Apple tersebut. Bukannya dia tidak menerima kenyataan bahwa temannya adalah seorang lesbian, tetapi kenapa gadis itu hanya membuat pengakuan padanya semata? Semakin banyak orang yang mengakui bahwa dirinya menyukai sesama jenis tanpa malu dan akan menghargai mereka. Yah, gadis itu bukan tipikal orang yang berani menyampaikan sesuatu yang sangat sensitif di depan banyak orang. Meng-update status saja tidak pernah.

"Tadi itu siapa, Dieter?" tanya si laki-laki Asia Timur yang sejak tadi hanya memandangi kue-kue kering di atas piring kecil. Pria itu sepertinya tidak berniat sama sekali untuk menyentuhnya.

"Hanya seorang teman." jawabnya singkat, padat dan jelas. Teman serumah pria yang dipanggil Dieter itu hanya mengangguk pelan, tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain.

"Omong-omong, kamu lebih sering chatting sama temanmu di social media."

"Kau pikir saja sendiri, Toshiro. Aku sudah setiap hari bertemu dengan teman di kampus dan di kantor. Untuk apa menggunakan social media selama masih bisa dijangkau dengan bertemu langsung, telepon dan SMS." balas Dieter panjang lebar menanggapi ucapan temannya. Toshiro hanya menganggukkan kepalanya setuju dengan pendapat Dieter.

"Terus kamu pernah ketemu sama salah satu dari mereka? Mungkin sampai jatuh cinta..." gumam Toshiro sambil memain-mainkan sendok tehnya.

Dieter tersenyum kecil, lalu menjawab pertanyaan Toshiro, "Aku pernah, dan dia...seorang pria."

Toshiro kaget mendengar pengakuan kalau Dieter adalah seorang gay. Eh, maksudnya biseksual. Saat pertama kali mereka mengobrol, pria itu mengatakan bahwa dia punya pacar seorang wanita. Ditambah, wanita itu juga cantik. Apa wanita tersebut sudah putus dengan Dieter?

"Nggak ada salahnya kamu pacaran sama cowok, kan? Toh, di sini orang-orang kayak gitu juga udah banyak." Toshiro yang mencoba meyakinkan temannya itu.

Walaupun pria itu sejak kecil sudah dididik dengan adat ketimuran, tetap saja ia harus menghargai budaya lain. Lagipula, Toshiro yang awalnya bersikap netral terhadap LGBT sedikit demi sedikit condong ke pro karena pekerjaannya sebagai doujinka dan pernah punya teman seorang gay.

"Ya, tapi aku..." ucap Dieter yang mulai tidak bisa memikirkan kata-kata yang tepat untuk dikatakan pada temannya. Toshiro bingung dengan sikap orang di depannya itu. Seakan ada hal yang mengganjal.

"Kenapa?"

"Aku tidak yakin, dia akan menerima perasaanku selama ini. Dia selalu menghindar entah kenapa, padahal kami sudah cukup dekat." cerita Dieter takut-takut. Pria muda di depannya itu heran, kenapa kali ini curahan isi hatinya terkesan menyimpan sesuatu? Tolong, jangan sampai dia mengatakan kalau selama ini Dieter menyukai Toshiro.

"Mungkin aku dapat sedikit membantu" usul Toshiro yang masih berpikir kalau pria itu adalah seseorang yang lain.

Itu pasti bukan dirinya. Lagipula, hubungan mereka selama ini sebatas sahabat atau bahkan saudara semata. Tidak ada tanda-tanda ketertarikan seksual sama sekali.

"Kau tidak perlu melakukan itu. Selama ini usahaku selalu sia-sia." ucap Dieter lesu.

"Asalkan ada usaha, kamu pasti bisa. Sebagai sahabat, aku selalu mendukungmu kok." Toshiro mencoba untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada temannya itu sambil menepuk-nepuk pundaknya sejenak. Pria di depannya hanya tersenyum kecil, namun senyum itu sepertinya palsu. Apakah kata-katanya tadi membuat pria itu sakit hati?

Keheningan terjadi selama beberapa menit di antara dua pria itu. Tak ada satupun yang berani mengeluarkan suaranya. Walaupun pria katanya tipe yang lebih mengutamakan logika, mereka juga punya perasaan. Tak selamanya mereka menyembunyikan perasaan.

"Kok, jadi tegang gini? Memang benar, kan kita sudah lama berteman?" tanya Toshiro untuk membuktikan bahwa kata-katanya tidak menyakiti hati temannya. Dieter memang nampak seperti robot atau boneka yang tidak berperasaan dan melakukan semuanya karena keharusan. Siapa sangka perkataan sekecil itu bisa menyakiti hati orang seperti dia?

"Sudahlah, lagipula aku sudah tahu jawabannya tadi." jawab Dieter dingin. Toshiro mengerinyitkan dahi, bingung dengan maksud perkataan temannya. Dieter bukan orang yang mampu melihat masa depan atau punya firasat kuat seperti Toshiro, dia juga bukan tipe orang yang sepesimis itu.

"Apa maksudmu? Tidak biasanya kau sepesimis itu..." gumam Toshiro yang kemudian menyeruput secangkir teh yang telah mendingin.

Dieter mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk dan menatap mata temannya intens.

"Sebenarnya... aku menyimpan perasaan padamu sejak lama. Tapi tidak masalah kau menolak, lagipula kali ini aku tidak memaksa." ucap Dieter yang terdengar sangat jujur.

Perasaan Toshiro campur-campur mendengar pengakuan temannya itu. Antara syok, merasa bersalah, kasihan dan ingin membenci sahabatnya sendiri. Jadi selama ini, Toshiro ditaksir oleh seorang pria yang notabene sahabatnya sendiri? Mustahil. Apa mungkin dia saja yang kurang peka?

Sebenarnya, memang Toshiro tidak punya perasaan apapun dengan sahabatnya itu. Di matanya Dieter itu seperti kakak laki-laki sendiri atau teman serumah yang begitu perhatian. Tidak mendapatkan tempat yang spesial di hatinya.

"Maafkan aku, ya. Aku sama sekali nggak bermaksud membuatmu merasa seperti ini." ucap Toshiro yang seakan menyesal telah menolak pernyataan cinta sahabatnya sendiri. Dieter hanya mengangguk mengerti, lagipula dia tidak dapat memaksakan perasaannya terhadap orang lain.

"Tidak apa-apa. Kalau soal perasaan aku tidak akan pernah memaksakannya. Setelah ini kau tidak akan membenciku, kan?"

Toshiro yang mendengar pertanyaan temannya itu tersenyum kecil lalu menjawab, "Nggak akan pernah sampai selamanya. Kalau ada apapun yang mengganggumu, kamu masih punya aku. Apapun kamu, aku akan tetap membiarkanmu menjadi dirimu sendiri."

Dieter hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata temannya. Dia tahu Toshiro bukanlah tipe orang yang sebodoh itu sampai dia mau meninggalkan temannya hanya karena orientasi seksual yang berbeda. Kalau Toshiro dapat berteman dengan mereka yang berkulit hitam atau beragama Muslim, mengapa kaum LGBT tidak?

#NulisRandom2015

Rabu, 24 Juni 2015

day 24: internships and idols

Perempuan muda berambut hitam panjang sepunggung itu tengah duduk di bangku kantin kampusnya. Ia tersenyum lega menatap proposal magangnya yang telah diterima, baik oleh dosen maupun kantor tempatnya akan magang. Sudah beberapa kali Dinda mengajukan proposal magang, namun selalu ditolak. Bagi seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik seperti Dinda, magang adalah suatu mata kuliah yang wajib diambil untuk semester itu. Ia dapat bernapas lega karena satu nilainya sudah selamat. Yah, yang harus dia lakukan hanyalah menjalani pekerjaannya di LSM berbasis kesetaraan gender tersebut dan membuat laporan pada akhir semester.

Namun, ada satu masalah lagi. Jarak antara rumah Dinda dan kantor magang maupun kampusnya dapat dikatakan sangat jauh. Bayangkan saja, dari rumah ke kampus Dinda harus naik bis kota lalu menyambung kereta api yang berhenti di tujuh stasiun.

"Din? Kok, bengong? Harusnya seneng dong, udah keterima. Gue aja udah ngajuin berkali-kali masih belum dapat juga." tanya Afi, salah satu sahabatnya yang tengah mengaduk-aduk segelas es teh manis dengan sedotan. Dinda yang tengah memasang headset sambil mendengarkan lagu-lagu salah satu boyband asal Jepang, melepas salah satu headsetnya dan menoleh ke arah temannya.

"Emang, sih gue seneng nilai magang gue selamat. Cuma, gue takut ngerepotin dan ngekhawatirin ortu gue kalau misalnya gue tinggal bareng mereka. Gue mau tinggal sendiri rada rempong gitu, lo tahu kan bokap nyokap gue kayak apa, Fi?" Dinda menjawab sekenanya.

"Eh, omong-omong lo lagi dengerin apaan Din? Ini lagunya Arashi bukan, sih?" ucap Afi sambil memasang kabel headset yang tadi sempat dilepaskan Dinda, mencoba mengalihkan percakapan.

"Yah, masih satu agency sama Arashi lah. Cuma grup yang ini debutnya duluan dari Arashi." jelas Dinda singkat. Afi hanya geleng-geleng kepala, ia tidak mengerti lagi dengan bagaimana manajemen industri hiburan di Jepang sana.

#NulisRandom2015

Selasa, 23 Juni 2015

day 23: bad service

Gadis berambut panjang sepunggung itu memasang wajah bosan sambil memainkan game Hay Day di ponselnya. Sementara pria di depannya memfokuskan matanya pada sebuah buku tebal karangan Haruki Murakami. Suasana di restoran itu sungguh ramai, anak-anak sekolah, mahasiswa, pegawai kantor bahkan orang-orang lanjut usia tengah bercengkerama sambil makan di atas bangku-bangku kayu dengan bantalan merah. Inilah ciri khas restoran di Asia, orang-orangnya berisik kalau ngobrol.

Dua orang itu sudah setengah jam lebih mematung di atas kursi dengan perut lapar. Bayangkan saja, tiga puluh menit lebih menunggu pesanan. Awalnya mereka memaklumi kalau restorannya sudah terlanjur ramai. Lama kelamaan tumbuh rasa kesal juga karena pelayanan di restoran ini sangat tidak efektif.

Sembari menutup game Hay Day di telepon genggamnya, mata gadis itu berpaling pada seorang gadis seusianya yang tengah duduk bersama seorang pria kaukasia. Gadis seusianya itu memiliki warna kulit yang lebih gelap. Tank top merah yang dipadukan dengan hot pants denim dan sepatu hak tinggi, mengundang birahi para laki-laki yang mengunjungi restoran tersebut. Mana make-up gadis itu juga tebal. Si pria kaukasia itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Dari pakaiannya saja sudah nampak kalau dia itu bule kere.

Dialihkannya pandangan matanya ke arah  dirinya dan kekasihnya sendiri. Gadis itu baru ingat kalau dia tidak sempat berdandan sebelum menemui sang kekasih. Pakaian yang dikenakannya juga dapat dikatakan tidak menyenangkan mata laki-laki. Ia hanya memakai kaos garis-garis, cardigan, celana jins dan sepatu kets. Rambut panjang itu diikatnya ke belakang. Pria muda di depannya saat ini memang orang Jepang, namun secara fisik ia agak sulit dibedakan dari orang Indonesia pada umumnya. Kedua matanya tidak begitu sipit ditambah kulitnya yang agak kecokelatan. Maklum, pacarnya itu memang kelahiran Osaka yang notabene suhu udaranya sangat panas.

"Toshiro?" ucap gadis itu pelan sambil menggandengkan kedua tangannya dan menjadikannya sebagai topangan dagu.

Merasa terpanggil, tangan pemuda itu menutup bukunya, kemudian memandang kedua mata gadis itu. "Ada apa?"

"Aku minta maaf..." gumam gadis itu yang tiba-tiba menundukkan kepalanya lemas. Pemuda itu mengerinyitkan dahinya, menciptakan ekspresi bingung atas perkataan gadis di depannya itu. Seingatnya gadis itu tidak melakukan kesalahan apa-apa akhir-akhir ini.

"Minta maaf atas dasar apa? Kamu sama sekali nggak salah apa-apa, Din." ucap Toshiro yang mencoba untuk meyakinkan kekasihnya bahwa ia tidak melakukan kesalahan apapun baru-baru ini.

"Hari ini aku nggak sempat dandan, dan pasti kamu nggak suka sama penampilanku..."

Toshiro malah tersenyum kecil mendengar kata-kata gadis itu tadi. Jelas ia mencintai Dinda selama ini apa adanya, dan tidak begitu banyak menuntut ini itu. Kenapa keyakinannya akan hal itu semakin turun?

"Jawab aku..." ucap gadis itu yang tidak mengerti dengan bahasa tubuh Toshiro.

"Udah berapa lama kita pacaran, Din? Masih aja nanya kayak gitu...aku gak pernah komplain macam-macam ke kamu." desis Toshiro yang merasa sedikit kesal dengan pertanyaan Dinda.

"Ya, siapa tahu saja kamu lebih suka kalau aku bergaya seksi..." gurau Dinda. "Lagipula, kamu kan juga orang asing. Kudengar kalau mau menarik perhatian mereka harus pakai baju seksi dan make-up."

"Hei! Tidak semua orang asing seperti itu tahu. Aku, kan tidak menjadikanmu budak seks..." ucap Toshiro sambil memandangi sekitarnya karena bosan. Matanya tertuju pada seorang gadis yang tadi dilihat Dinda. Gadis yang memakai pakaian kurang bahan itu dan membuat kepercayaan diri kekasihnya drop begitu saja. Yah, gadis itu memang selalu merasa tidak aman kalau melihat atau mendengar hal yang mengganggunya.

Seorang pelayan meletakkan pesanan di atas meja di mana si gadis murahan dan bule kere yang sudah agak tua itu duduk. Dinda merasa kesal dibeda-bedakan seperti itu. Mentang-mentang ia dan pacarnya berpenampilan seperti anak kampung. Lagipula mereka sudah datang duluan, tapi kenapa mereka yang dilayani hanya karena ada orang Kaukasia?

Mana Dinda dan Toshiro memesan dua mangkok mie dan dua gelas teh hijau. Belum lagi tambahan camilannya. Sementara mereka? Pesan salad paling murah di restoran itu dan dimakan berdua.

"Kok, mereka yang dilayanin duluan Din? Kita, kan datang duluan..." ucap Toshiro sambil menatap pasangan di meja seberang.

"Pelayanan di Indonesia beda banget sama di Jepang atau di Jerman, Tou. Emang suka diskriminasi penampilan gitu..." jelas Dinda yang mencoba membuat pria itu mengerti betapa buruknya pelayanan di Indonesia.

Pria itu hanya mengangguk pelan. Dinda mencari keberadaan pelayan, dan mengangkat tangannya untuk memanggil salah seorang dari mereka. Ia ingin makanannya cepat sampai, karena ia lapar dan uangnya telah keluar membayar semua makanan itu.

"Mbak!" panggil gadis itu pada salah seorang pelayan yang lewat dengan membawa kartu pesanan tamu. Pelayan itu menoleh dan berbalik sejenak ke arah Dinda, dengan tatapan mata yang dapat dikatakan menyebalkan.

"Kenapa?" tanya si pelayan yang menyebalkan itu.

"Kita udah nunggu pesanannya nyaris satu jam, ya? Sedangkan meja yang seberang itu baru datang setengah jam yang lalu. Dan kita udah bayar, woi!" ujar gadis itu keras-keras menjawab pertanyaan si pelayan yang seakan tidak tahu apa kesalahannya. Sementara Toshiro, merogoh-rogoh tas selempang yang dibawanya lalu mengeluarkan dompet serta map berisi dokumen-dokumen pribadinya di Jepang.

"Hmm...saya juga berhak mendapatkan pelayanan sama seperti orang asing di seberang saya itu. Dokumen-dokumen di atas meja ini sudah cukup membuktikan kalau saya juga orang asing seperti dia." ucap Toshiro dingin sambil melihat sejenak ke arah pelayan yang dapat dikatakan rasis ini.

Mungkin pelayan itu mengira bahwa Toshiro ini orang Indonesia pada umumnya. Padahal statusnya sama si bule kere itu sama saja. Sama-sama warganegara asing.

"Duh, maaf ya...tunggu lima belas menit lagi..." ucap pelayan itu sambil membungkukkan badannya.

"Benar, ya lima belas menit? Lebih dari itu kita batalkan pesanannya dan minta uang kembali!" bentak Toshiro pada pelayan tersebut kesal. Si pelayan itu menganggukkan kepalanya kemudian pergi begitu saja.

Pemuda itu menghela napas sejenak untuk mengeluarkan semua emosi negatif yang dikeluarkannya tadi. Dinda hanya bisa menunggu lima belas menit kemudian sambil menahan rasa lapar dan melanjutkan bermain game Hay Day.

"Kayaknya ini pertama dan terakhir kita makan di sini...pelayanannya jelek banget." ucap Toshiro sambil merapikan dokumen dan dompet, kemudian memasukkannya kembali dalam tas selempangnya. Dinda hanya bisa mengangguk dan pasrah saja kalau misalnya pesanan mereka dibatalkan dan uang itu kembali.

#NulisRandom2015

Senin, 22 Juni 2015

day 22: i am an idol

Aku selalu bermimpi untuk menjadi seorang idola. Kubayangkan semua mata tertuju padaku, cahaya panggung itu menyorot tubuhku dan suara-suara lantang meneriakkan namaku. Pasti akan menyenangkan rasanya, hidup dalam ketenaran dan gelimang harta.

Namun apa daya, aku hanya seorang gadis kecil polos yang hidup dalam khayal setiap waktu. Aku tak peduli akan realita hidup yang keras dan terus bermimpi. Masa kecilku kuhabiskan dengan mencari eksistensi dari pengetahuan, goresan pensil, krayon, nyanyian dan keberaian untuk bicara. Benar saja aku merasakan menjadi idola di sekolah karena kepintaranku. Berat rasanya harus menjaga imaji sebagai seorang gadis kecil yang cerdas. Bagaimana kalau aku menjadi idola di atas panggung atau di layar kaca?

Impianku untuk menjadi idola kandas di tengah jalan, saat aku beranjak remaja. Aku menemui banyak saingan, mereka yang lebih rupawan, cerdas, berbakat, dan dari latar belakang keluarga yang mapan. Sementara aku bukan apa-apa dibanding mereka, bahkan anak-anak itu hanya menganggapku sampah. Tubuhku mungil dengan wajah standar. Orang tuaku tidak tergolong mampu. Aku tidak bisa bernyanyi, bermain musik, menggambar dengan baik, olah raga ataupun bicara di depan umum. Yang aku bisa hanya menulis dan berkhayal.

Aku merasa tidak ada hal yang bisa kubanggakan dalam diriku. Namun pecutan itu malah membuat diriku semakin bersemangat untuk menjadi idola agar mereka yang menjauhiku malah tertarik seperti magnet.

Pada masa remaja akhir aku kembali menjadi idola banyak orang karena kepandaian dan kebaikanku. Kepandaian dan kebaikan ini mereka tidak hargai, namun mereka manfaatkan untuk kepentingan mereka. Aku menjadi semakin pesimis, berpikir bahwa aku tidak akan pernah menjadi idola kalau begini caranya. Dimanfaatkan, didekati karena kasihan, lalu dijauhi.

Yah, seorang idola pasti memiliki kaum yang membenci mereka karena iri, bukan? Mungkin suatu saat mereka akan berbalik menjadi fansku. Lagipula kaum pembenci adalah fans yang tertunda.

Saat aku beranjak dewasa, aku mulai merasakan silaunya sorotan sinar panggung yang baru. Aku semakin mengembangkan bakat menulis dan menggambarku tanpa mempedulikan hasil karya orang lain yang lebih baik. Apa daya, mereka adalah mereka dan aku adalah aku. Jadi, aku melakukan itu semua untuk diriku sendiri. Bukan untuk mendapatkan sanjungan orang.

Sanjungan itu hanyalah bonus.

Ketika bibir-bibir itu memujiku secara langsung maupun diam-diam, aku hanya dapat tersenyum. Aku tidak menyadari kalau hal sekecil apapun bisa meroketkan aku menjadi idola. Mungkin salah satu kunci untuk menjadi idola hanyalah menjadi diri sendiri dan percaya dengan hasil jerih payah yang kulakukan.

Menjadi idola di lingkup keluarga dan teman saja sudah membuatku bahagia. Aku tinggal menunggu waktu yang tepat untuk memperluas jumlah pengagumku. Siapa tahu aku bisa menyamai para aktor, musisi, dan tokoh politik yang selama ini kukagumi. Tentunya karena prestasi yang selama ini kuukir.

#NulisRandom2015

Minggu, 21 Juni 2015

day 21: hitam, putih dan abu-abu

Aku sudah capek dengan ucapan orang-orang di sekelilingku. Mereka bilang aku harus mencontoh kakakku yang katanya lebih baik dalam segala hal dibanding aku. Di satu sisi mereka memang ada benarnya.

Kakak laki-lakiku secara bungkusan luar dan dalam memang terlihat baik. Tubuhnya mewarisi gen tinggi badan dari ibuku, ditambah ia memiliki wajah yang menarik perhatian wanita atau pria gay yang melihatnya. Tidak cuma sekadar berpenampilan menarik saja, kakakku juga tidak pernah memiliki catatan kriminal.

Pantas saja lebih banyak yang menyukai kakakku. Lagipula, mereka tidak pernah tahu bahwa pria itu tidak semanis dan sepolos kelihatannya. Orang-orang yang suka membanding-bandingkan itu tidak tahu soal filosofi yin dan yang.

Jangan sangka kakakku ini masih menjomblo seumur hidup dan menjadi hikikomori  karena imajinya yang seperti malaikat. Bayangkan saja, kakak laki-lakiku punya track record  hubungan percintaan yang buruk dengan mantan pacar yang tidak terhitung banyaknya. Selama ini wanita yang terlihat bersama kakakku selalu tidak membuatnya bahagia.

Mereka tidak pernah tahu, kalau orang yang nampak sesuci kakakku pasti pernah berbuat dosa. Sesabar-sabarnya kakakku, pasti dia pernah marah dan kecewa dengan orang-orang yang memanfaatkan kebaikannya. Termasuk mantan-mantannya itu yang mungkin saja hanya ingin uang dan kepuasan seksual. Sudah pasti ia pernah meniduri mantan-mantan pacarnya (bila diminta), kemudian meninggalkan mereka begitu saja.

Pria itu polos sekaligus bejat dalam waktu yang bersamaan. Polos, karena ia tidak pernah mau belajar dari pengalaman buruk dalam kehidupan asmaranya. Dapat dikatakan bejat juga karena seakan semua mantan pacarnya itu hanya dianggap sebagai boneka seks yang dicampakkan setelah dipakai. Benar saja, ia membuktikannya dengan pose di majalah dewasa itu.

Bagaimana denganku?

Seorang pelajar SMA dengan nilai A, A- dan B+ berturut-turut yang menghiasi kartu rapor. Bahkan semester lalu aku nyaris mendapatkan straight A. Terkadang aku bingung apa yang kulakukan dengan kepandaian ini, apabila kepandaian ini tidak akan terlihat oleh orang banyak. Walaupun nilai rapor dan tugas mencerminkan aku lebih cerdas dari kakak laki-lakiku, secara fisik dan perilaku aku dapat dikatakan minus.

Aku ini bertubuh mungil, berkulit pucat dengan bercak dan bintik bekas jerawat di pipi. Ekspresi wajah cuek yang selalu kulukiskan malah mengindikasikan kalau aku seorang anak berandalan. Kuakui, aku memang anak nakal yang suka bertengkar dan mencari masalah dengan orang lain. Tapi aku belum tega memperkosa perempuan atau menancapkan pisau di jantung orang. Jangankan memperkosa, pacaran saja aku belum pernah.

Ya, level kesabaranku memang di bawah rata-rata. Aku tidak sedewasa kakakku yang bisa menghadapi masalah dengan kepala dingin dan perundingan. Masalah selalu kuselesaikan dengan mengandalkan kekuatan fisik dan emosi negatif yang selalu membawa masalah. Baik bagi orang lain maupun diriku sendiri.

Mereka pikir aku berkelahi secara fisik dan verbal hanya untuk bersenang-senang? Tidak, mereka salah. Aku melakukan itu semua untuk melindungi diriku, keluarga dan teman-teman. Di balik tindakanku yang kadang nekat dan berbahaya ini, aku tidak ada bedanya dengan kakak laki-lakiku. Justru aku tidak secuek air mukaku, sesungguhnya aku peduli.

Ada wilayah abu-abu yang tidak nampak dan disadari oleh mereka antara kami berdua. Orang tua kami mengajarkan kami berdua untuk selalu peka dan membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan. Ajarannya boleh sama, hanya saja kami yang mengaplikasikan dengan cara yang berbeda. Kakakku melakukannya dengan kelembutan dan kepolosannya, sementara aku mengembangkan sikap protektif.

Lagipula kalau tidak ada aku dan kakakku, mereka tidak akan bisa tertolong bukan? Jadi, untuk apa aku merasa iri dengan kakakku seperti anak-anak lain yang punya saudara? Toh, kami memiliki sisi terang dan gelap plus kesamaan dalam satu hal.

#NulisRandom2015

Sabtu, 20 Juni 2015

day 20: odd names

Sebenarnya apa arti dari sebuah nama? Aku iri pada mereka di luar sana yang diidentifikasikan dengan rangkaian kata indah dan mudah diingat. Misalnya saja, aku pernah menemani seorang pelancong asal Indonesia di jalan raya Khaosan tempat para turis mencari kesenangan dan berbelanja. Si pelancong itu memintaku untuk memanggilnya Dhika dari nama lengkap Raphaella Gusti Mahardhika (yang sempat kubaca di kartu identitasnya). Atau seorang sahabat penaku asal Prancis yang selalu mengakhiri setiap suratnya dengan nama Pierre Foucault.

Ya, aku tahu kalau nama orang di Thailand itu panjang-panjang dan susah dibaca. Untuk mendaftar forum online internasional, terpaksa aku harus menyingkat namaku atau menyamarkan identitas karena username-nya hanya terbatas 20 karakter termasuk spasi. Nama asliku, kan 20 karakter lebih. Demi apapun, forum ini sama sekali tidak punya toleransi pada orang bernama panjang dan ribet.

Dalam forum dunia maya atau ketika bertemu dengan orang asing, aku selalu meminta mereka memanggilku dengan nama Iris. Bukan apa-apa, seperti yang dijelaskan tadi nama orang Thailand itu panjang-panjang dan susah diingat maupun diucapkan. Maka dari itu, nama asliku kadang terbaca aneh. Dan ada rasa takut kalau orang-orang yang teridentifikasi dengan rangkaian kata indah itu akan menghina nama asliku.

Tahun demi tahun di mana aku selalu menutupi identitasku berlalu. Pada suatu hari, aku diajak berkenalan oleh seorang laki-laki. Laki-laki ini mengaku sebagai salah satu teman dari Dhika. Wajahnya memang tidak begitu tampan dan bentuk fisiknya juga kurus tinggi. Namun saat kami berdua tengah bercakap-cakap di kafe itu, ternyata ia menyenangkan juga.

Atmosfer menyenangkan itu berubah saat ia tiba-tiba menanyakan siapa namaku.

"Omong-omong, siapa namamu? Dari tadi kita belum berkenalan. Padahal ngobrolnya juga udah setengah jam." gumam pria itu sambil melirik jarum jam arlojinya.

"Panggil Iris saja. Jangan tanya nama asliku." ucapku dingin sambil terus mengaduk kopiku yang mulai mendingin.

"Memangnya kenapa?" tanya pria itu santai.

"Nggak apa-apa...tapi nggak penting kamu tahu nama asli aku..." ucapku pelan sambil menatap matanya intens.

"Kalau aku pengen tahu gimana?"

Oke, baiklah. Jika ia memaksaku, aku akan mengeluarkan kartu namaku. Aku merogoh tasku dan mengeluarkan kartu nama, lalu meletakkannya di meja kafe. Tangan pria itu meraihnya dan melihat kartu itu sejenak. Kemudian kepalanya diangguk-anggukkan sedikit.

"Boleh panggil pakai nama aslimu saja, nggak?" tanya pria itu. Lantas aku merasa kaget karena pria itu ingin memanggilku dengan nama asli yang sulit diingat.

"Apa? Tapi itu kepanjangan..." gumamku.

"Nggak apa-apa, Siriporn. Lagipula namaku juga aneh, kok." ucap pria itu santai sambil merogoh kantong dan mengeluarkan kartu namanya. Aku memandangnya sejenak, lalu tersenyum kecil karena baru pertama kalinya orang asing mau memanggilku dengan nama asli.

Dan karena nama pria itu juga aneh, aku tidak mau memberitahukannya padamu.

#NulisRandom2015

Selasa, 16 Juni 2015

day 17: mengaguminya dari jauh

Mataku ingin melihat sosoknya yang begitu bersahaja di balik gemerlap dunia selebritas. Dia tidak begitu merasakan ketidaknyamanan atas penampilannya yang sering menjadi bahan hinaan. Siapa juga orang yang akan suka melihat tubuh yang agak berisi di kala masih banyak saingannya yang bertubuh ramping? Atau sepasang pipi gempal dan mata sipit di wajah itu yang tidak tertarik untuk diubah olehnya. Betapa jemariku gemas untuk mencubit pipi gempal putih itu.

Ingin rasanya aku menjalin pertemanan dengan pria itu. Aku tertarik padanya dalam pandangan pertama bukan karena fisik semata. Banyak yang mengatakan penampilannya di bawah rata-rata, bagiku dia sungguh menawan hati. Wajah dan senyuman polosnya sungguh menipu kedewasaan usianya. Cara bicara yang natural, kegemarannya bermain game dan tingkah jenaka itu menciptakan imaji sosok yang seperti anak-anak.

Telingaku ingin mendengar lantunan lagunya, saat ia disinari cahaya panggung sendirian. Aku kaget saat jemari gembulnya itu berhadapan dengan tuts piano. Ketika suara dan nafasnya yang diatur sedemikian rupa dikeraskan dengan mikrofon. Jemari itu ternyata dapat menari lihai di atas tuts piano, menyuarakan dentingan nada indah ditambah lantunan syair nan manis.

Ia sungguh idola sejati yang lebih fokus dalam pengembangan diri. Keahliannya berlagu patut diacungi jempol. Pria itu juga dapat membedakan antara dunia nyata dan dunia di balik layar. Dalam setiap klip musik, film, drama dan iklan di mana sosoknya berseliweran, ia seakan menjadi orang lain. Apakah ia sebenarnya mengidap kepribadian ganda? Ataukah dia sungguh mendalami peran-peran yang dimainkannya? Aku tidak begitu tahu.

Pantas saja seorang sutradara terkenal pernah mengambil dirinya untuk diroketkan ke kancah perfilman internasional. Di tengah-tengah orang yang membencinya, aku yakin sebagian orang menyukai sosoknya yang begitu sederhana. Pria itu seakan membuat para penerusnya nanti belajar bahwa untuk menjadi bintang kau tidak harus menjual wajah dan tubuhmu namun tunjukkan apa yang kau bisa.

Banyak kekaguman padanya yang tidak bisa kusampaikan dalam kata-kata. Suatu hari nanti saat aku bertemu dengannya, aku akan menyatakan rasa kagumku dan mengucapkan terima kasih padanya. Terima kasih banyak atas pelajaran yang kudapat dari sosok yang begitu sederhana, terutama dalam hal kepercayaan diri. Rasa tidak nyaman akan tubuh yang kumiliki perlahan hilang sejak aku mengenalnya.

Sayang sekali, sejak awal tulisan terlihat kalau aku hidup di dalam mimpi. Semua yang akan kulakukan tadi hanyalah delusi seseorang yang mengagumi sosoknya dari jauh. Ada suatu batasan kaca yang membatasi aku dan dia agar tak dapat bertemu.

Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah mengucapkan selamat padanya karena hari ini dia telah diberi kesempatan untuk hidup setahun lagi. Usianya yang sudah mencapai tiga puluh dua tidak akan pernah menurunkan sinarnya sebagai bintang, walau di langit banyak bertebaran bintang-bintang baru. Aku hanya bisa berharap semoga dia bisa mempertahankan imajinya sebagai idola yang begitu alami. Seorang idola yang merakyat, tidak memikirkan fisik dan terus mengembangkan diri.

#NulisRandom2015

Senin, 15 Juni 2015

day 15: rumours has it

Bukan, aku tidak akan membahas mengenai lagunya Adele atau masalah rumor mengenai artis yang dikabarkan pacaran. Aku sangat tidak suka orang-orang di media sosial yang sekarang begitu mengkambinghitamkan wanita dalam masalah percintaan yang belum jelas kebenarannya. Wanita harusnya saling menjaga, bukan saling menjatuhkan. Memangnya, apa yang salah dengan mencintai pria idaman banyak orang?

Ironisnya yang melakukan hal itu adalah sesama perempuan. Para perempuan itu berpikir bahwa si perempuan yang menjadi korban ini pasti akan melakukan apa saja untuk mendapatkan pria tampan dan kekayaan berlimpah. Mereka tidak pernah tahu ada apa di balik layar. Apa dasarnya mereka beranggapan seperti itu kalau tidak cukup bukti untuk mengatakan dia murahan?

Cemburu? Merasa kalah? Sampai sekarang aku tidak tahu standar wanita terhormat itu seperti apa.

Semua yang mereka lakukan itu hanya membuang waktu mereka saja. Coba bayangkan untuk apa mereka mengikuti para idola seperti pengintai dan mengklaim dialah calon suami masa depan. Di kala sang pujaan delusional dikabarkan sudah memiliki kekasih hati, sang "kekasih" itu kadang dihina.

Hal ini tidak hanya berlaku untuk para idola kaum hawa saja, namun kaum adam secara keseluruhan. Bisa saja itu sebuah kabar yang tersebar di lingkaran teman tertentu.

Tunggu! Itu baru satu berita, kan? Hanya ada gambarnya, kan? Sekali lagi kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi sesungguhnya di balik layar. Bisa saja mereka hanya berkawan baik atau bersahabat sejak lama. Atau barangkali mereka baru bertemu untuk pertama kalinya dan belum ada hubungan apapun.

Mungkin juga itu hanya settingan individu atau media semata. Dan parahnya lagi salah satu pihak menggunakan kedok "kekasih" itu untuk menutupi kalau ia sesungguhnya telah belok ke arah lain. Apapun bisa terjadi, bukan?

Kalaupun berita itu memang benar, hal itu juga tidak sama sekali ada pengaruhnya terhadap mereka. Kenal mereka saja tidak, sampai ribut segala. Memangnya kau siapanya? Apakah dia yang di sana akan peduli?

Wahai kaum wanita delusional, coba kalian pikirkan lagi sebelum berbicara dan bertindak.

#NulisRandom2015

Minggu, 14 Juni 2015

day 14: melangkah cepat

Ada satu hal yang masih belum kumengerti sejak kecil. Orang-orang terdekatku selalu berjalan lebih cepat dariku. Seakan keseimbangan mereka dapat diatur secara otomatis untuk menghadapi rintangan. Aku sendiri termasuk orang yang santai kalau melangkah, jadi aku lebih memilih berjalan perlahan.

Kira-kira belasan tahun lalu, usiaku baru delapan tahun. Dulu kakak laki-lakiku sering mengajakku jalan-jalan sore, selagi menunggu kakak perempuanku bermain bola dengan teman-temannya. Kami berjalan-jalan hanya sekadar untuk membeli camilan yang dijual di warung atau menyapa para tetangga.

Kakak laki-lakiku memiliki kaki yang begitu jenjang, sehingga langkahnya juga sangat cepat lagi besar-besar. Waktu pertama kali aku diajaknya jalan-jalan sore, aku sering jauh tertinggal di belakangnya karena sulit untuk menyamakan kecepatan kaki kami. Kakiku sendiri kurus, lemah dan kecil, jelas tidak dapat mengimbangi langkah kakakku. Ditambah, aku juga terlalu hati-hati.

Aku khawatir kakakku akan tega meninggalkan aku sendiri di belakang. Sudah lama aku menaruh kepercayaan padanya, dan dia juga sudah berjanji akan menjagaku hingga aku menemukan sosok baru saat dewasa nanti.

"Koko! Apa Koko mau ninggalin aku?" ujarku saat melihat punggung kakak laki-lakiku yang sudah agak menjauh. Saat itu aku terlalu lelah untuk mengikuti kecepatannya. Sebenarnya aku ingin bisa berjalan cepat, hanya saja kaki ini tidak kuat menyamai kecepatan kaki-kaki lain.

Remaja laki-laki bermata sipit dan berkulit putih langsat itu menoleh ke arahku, kemudian melangkah kembali mendekatiku. Ia membungkuk sejenak, lalu mengelus kepalaku lembut.

"Nggak akan pernah, kok." ucap kakak laki-lakiku mantap.

"Lalu kenapa Koko Alex biarin aku jalan pelan-pelan? Aku nggak bisa jalan secepat itu." gerutuku.

"Kamu gak usah maksain diri jalan cepat, setiap orang kan punya kemampuan sendiri-sendiri. Tujuan kita sama, dan kita akan bertemu di tujuan itu." tutur remaja laki-laki di depanku itu lembut. Ada benarnya juga ucapannya itu. Selambat apapun kita melangkah ke satu tujuan toh akan sampai juga.

Tahun demi tahun berlalu, dan langkah-langkah yang perlahan itu kunikmati bersama orang-orang di sekitarku yang selalu mengangkatku saat aku lelah. Mereka tidak peduli seberapa cepat aku berjalan, namun mereka berharap aku bisa melakukan itu semua. Walaupun prosesnya juga terbilang agak lambat.

Contohnya saja, waktu SMA atau kuliah gelar sarjana dulu aku sama sekali tidak pernah punya pacar seperti gadis normal lainnya. Walaupun ada beberapa laki-laki yang pernah menyukaiku, aku tidak secepat itu mendapatkan cinta sejati. Akhirnya aku menyadari kalau cinta sejatiku tidak berada di sini, tapi di sebuah negara asing.

Tepatnya saat aku mengejar gelar pascasarjana, aku sungguh menemukannya. Dan lagi-lagi pria itu berjalan cepat. Fisiknya memang kurang lebih sama sepertiku, hanya saja sedikit lebih tinggi. Mungkin karena ia adalah seorang laki-laki.

Kedua kaki kekasihku itu tidak sejenjang yang kakakku punya. Nampak sekali dari langkah-langkahnya yang besar, apabila otot-otot kakinya memang sudah biasa berjalan cepat tanpa mempedulikan di sekitarnya. Berbeda denganku yang selalu diajarkan untuk berhati-hati dalam berjalan.

Aku ingat saat kencan kami yang kesekian. Kakinya begitu kuat sehingga dia dapat mempercepat langkahnya sembari menjaga keseimbangan. Dari apa yang kudengar dari kisah hidupnya, ia tergolong orang yang melangkah cepat untuk mencapai tujuannya. Sejak kecil dia seorang anak yang cerdas istimewa, dan sangat ambisius untuk mendapatkan gelar sarjana cum laude. Beasiswa ini juga ia dapatkan karena prestasinya semasa menjadi mahasiswa dulu.

Malam itu, ia kembali melangkah lebih cepat dariku namun entah kenapa ia membiarkan aku berjalan di belakangnya. Aku malah tidak terlihat seperti stalker atau semacamnya dengan posisi seperti itu. Sejak dulu aku memang sulit untuk menyamai langkah kakinya. Bagaimana mungkin kita bisa berjalan bersama-sama kalau begini caranya?

Sejak pertama kali ia menyatakan perasaannya padaku, pria itu telah berjanji tidak akan meninggalkanku. Nyatanya dia berjalan lebih cepat dariku, dan pasti akan meninggalkanku begitu saja.

Tak berapa lama kemudian, kami telah sampai di sebuah kafe. Aku akhirnya bisa duduk juga karena kaki terlalu lelah mengikuti kecepatan langkah kekasihku. Sulit bagiku untuk mengimbanginya. Dia terlalu sempurna untuk menjadi belahan jiwaku.

"Apa aku boleh tanya sesuatu?" pintaku sambil menatap kedua iris hitamnya. Pria itu hanya mengangguk pelan.

"Kamu nggak akan pernah ninggalin aku, kan? Terus kok, kamu jalannya cepat banget. Aku kan jadi ketinggalan..." gumamku, kemudian menggembungkan pipi sedikit.

Pria itu tersenyum kecil, lalu berkata "Kita udah cukup lama menjalin hubungan, kan? Aku kan ngerti kalau kamu kayak gitu, Din."

"Bukannya kalau aku jalan dibelakang kamu, kesannya kamu jadi posesif dan dominan ya, Toshiro?" gumamku sambil memuntir-muntir rambutku. Kurasa selama kami menjalin hubungan ini, kami benar-benar berbagi peran.

"Kesannya, kan? Kita boleh jalan gak sama cepat, tapi mereka kan nggak tahu kalau kita jalan sama-sama." ucapnya renyah namun terus terang. Memang, selama ini aku terlalu percaya dengan komentar stereotipikal yang kalau Toshiro ini dominan. "Yah, kalau kita udah lewatin semua sama-sama...aku akan berjalan lebih cepat lagi."

"Eh? Terus hubungan ini mau disudahi begitu saja?" tanyaku yang sudah sedikit merasa diserang oleh kata-kata Toshiro yang tajam itu.

"Duh, jangan dipotong gitu kenapa, Din? Aku kan belum selesai bicara." ucapnya kesal.

"Terus gimana?"

"Aku berhenti di suatu tempat. Terus nungguin kamu jalan pelan untuk mengucapkan janji pernikahan." ucapnya lagi. Ini maksudnya melamar atau mencoba untuk romantis tapi gagal? Aku masih bingung dengan kepribadian Toshiro, walaupun kami sudah hampir dua tahun menjalin hubungan.

"Eh? Kita baru dua tahun jadian, udah nikah aja...lagian kita juga belum tentu bakalan nikah cepat." gurauku. Tanpa sadar pipiku merona merah karena malu. Pria manis itu hanya tersenyum kecil melihat reaksiku yang seperti itu.

#NulisRandom2015

Sabtu, 13 Juni 2015

day 13: bawa aku pergi (part 2)

Aku memandang sekelilingku. Laju kendaraan terdengar sangat berisik. Cahaya lampu neon membentuk gambar dan tulisan-tulisan abstrak yang tak dapat kubaca. Orang-orang melangkah cepat, dan sedikit mengeluarkan suara aneh dari mulut mereka. Tidak ada yang mempedulikan keberadaanku di tempat ini. Lagipula, tempat ini sendiri juga belum kukenal sebelumnya.

Sudah matikah aku? Kurasa surga tidaklah seperti ini, mungkin saja aku masih menjejakkan kaki di planet bumi. Entah ini di belahan dunia mana, aku kurang tahu. Kepalaku menengadah ke atas, mataku terbelalak kaget melihat pemandangan di atas.

Aku melihat seperti ada putaran angin di atas sana, di mana banyak makhluk transparan yang tengah berputar-putar. Ketidakpercayaanku pada takhayul membuatku tidak dapat memastikan apakah mereka itu jin, malaikat, peri atau semacamnya. Semakin lama keadaan ini semakin tidak masuk akal sehatku. Mimpi macam apa ini? Kapan semua keganjilan ini berakhir?

Di tengah sejuta pertanyaanku mengenai mimpi malam ini, tanganku seperti tertarik oleh sebuah sosok misterius ke samping. Aku berusaha memberontak dan melepaskan diri dari genggaman sosok itu, namun ia terus membawaku entah ke mana. Yah, mau mencoba berteriak sekalipun sosok itu juga tidak akan mengerti maksudku. Dunia kita mungkin sudah berbeda.

Perjalanan paksa itu terasa begitu cepat, seperti berlari keliling lapangan satu putaran pada masa SMA dulu. Aku tidak sadar kalau hanya ada aku dan sosok itu, tanpa penerangan lampu neon, suara kendaraan dan keributan orang-orang. Suasana mendadak berubah menjadi tepian kolam besar dengan pepohonan yang hijau serta kumpulan air yang memantulkan cahaya bintang di langit malam.

"Siapa kau?" ujarku kaget melihat si sosok misterius itu.

Dia seperti seorang pria yang tingginya tidak jauh berbeda denganku. Sekilas wajahnya cukup menarik, namun aku tidak merasa familiar dengan sosok tersebut. Keanehan mimpi malam ini bertambah satu lagi, aku harus menghabiskan malam berdua dengan orang asing berwajah rupawan.

Sosok itu tidak menjawab dan menyungging senyuman kecil. Telapak tangan kanannya menyentuh pipiku, kemudian perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Rasanya aku ingin meninjunya agar aku bisa bebas dari ini semua dan dapat bangun dengan tenang besok pagi. Aku mencoba mendorong sosok itu karena refleks, namun gagal karena ternyata sosok pria itu lebih kuat dari yang aku kira.

Jangankan pria yang kurus kerempeng seperti itu, pria gemuk saja bisa aku kalahkan. Tetapi mengapa energi yang kupunya seakan-akan terkuras dengan sendirinya?

Sosok itu menyapukan bibirnya di atas bibirku. Kedua tangannya memelukku, memberikan sentuhan pada bagian punggungku. Entah kenapa aku dapat tenggelam dalam semua sentuhan itu, mungkin karena dalam keadaan seperti ini aku tidak dapat melawan segala serangan yang dilakukan oleh tangan dan bibirnya.

Ini benar-benar mimpi paling absurd yang pernah kurasakan. Sudah terbang melayang tidak jelas, tertarik ke belahan dunia lain, sekarang aku tengah diperkosa orang asing. Tunggu...bisa saja orang itu bukanlah manusia. Dalam mimpi apapun dapat terjadi, kan?

Anehnya lagi, aku bisa menikmati apa yang telah dilakukannya padaku. Sejak pertama aku melihat sosok itu, ia benar-benar menarik perhatian dan seduktif. Seakan-akan semua pesonanya menarik energiku sampai habis.

Sontak kedua mataku terbuka, aku melihat sekelilingku. Ternyata, ini semua hanya mimpi dan aku sejak tadi memang tidur dalam kamarku. Pada saat aku melihat jam di telepon genggamku, ini sudah berganti hari lagi.

Syukurlah kalau tadi itu hanya bunga tidur semata. Aku berusaha bangun walau badan masih pegal-pegal semua, kemudian pergi ke dapur sejenak dan menyiapkan susu serta roti isi untuk sarapan pagi. Maklum, habis turun lapangan aku belum makan sama sekali.

"Kakak sudah bangun juga akhirnya..." tanya seorang gadis berambut cokelat sepunggung yang tengah duduk di meja makan sembari mencorat-coret buku sketsanya. Aku hanya menganggukkan kepala mendengar kata-kata teman sekamarku itu.

"Iya, Mima. Semalam aku lapar. Mau nyiapin sarapan." jawabku. Si gadis yang kupanggil dengan nama Mima itu hanya menoleh sejenak lalu kembali pada pekerjaannya. "Memangnya kenapa kamu berharap aku bangun pagi?"

Mima mengalihkan perhatian dari buku sketsanya dan menatap mataku sejenak lalu berkata, "Ada tetangga baru mau mampir, Kak. Siapin sarapannya lebih satu porsi, ya."

Tetangga baru? Siapa? Laki-laki atau perempuan? Berjuta pertanyaan muncul dalam benakku mengenai si tetangga baru itu. Sepertinya Mima ini sudah lama mengenalnya sampai sebegitu senangnya dengan tetangga baru itu.

Lima belas menit lebih aku habiskan untuk menyiapkan sarapan. Benar saja si tetangga baru yang dimaksud oleh Mima sudah mendudukkan diri di atas kursi makan. Tetangga baru itu ternyata seorang pria berkulit agak kecokelatan dengan tinggi yang kira-kira berbeda lima sampai enam sentimeter dariku. Bola mata hitam pria itu nampak mengobservasi keadaan di sekitarnya. Saat mengobrol dengan Mima, bibirnya menyungging senyuman lebar yang khas.

Tunggu...kenapa sosok pria tetangga baru itu mirip dengan sosok yang kemarin nyaris memperkosaku dalam mimpi? Sebenarnya bukan memperkosa juga, karena dalam mimpi aku memang menyerahkan diri sepenuhnya.

Aku mencubit pipiku sejenak setelah meletakkan nampan berisi sepiring roti isi dan tiga gelas susu. Memastikan kalau ini bukanlah mimpi di dalam mimpi. Sepasang obsidian milik pria itu menatapku, lalu ia tersenyum ramah.

Perasaan curiga terhadap orang ini muncul begitu saja. Ada kegalauan antara harus merasa terpesona akan ketampanannya atau takut ia melakukan hal sama seperti dalam mimpi.

Ke mana dia akan membawaku pergi?

#NulisRandom2015

Jumat, 12 Juni 2015

day 12: bawa aku pergi (part 1)

Malam hari sangat cepat datangnya. Kehidupan di wilayah kota kecil ini mulai meredup. Termasuk di kamar-kamar di rumah sewaan tempatku tinggal. Semua telah terlelap, mungkin satu dua masih terjaga untuk mengerjakan tugas atau masih berada di luar.

Rasa lelah setelah kerja lapangan selama seminggu lebih membuat aku ingin tidur sepuasnya. Aku mencoba untuk memejamkan mataku, berusaha untuk menenggelamkan diri dalam dunia mimpi. Sulit bagiku untuk beristirahat sejenak dari semua kepenatan yang kudapatkan seharian penuh. Merasa gelisah, aku terus membolak-balik posisi tubuh sampai akhirnya berhasil tidur dalam posisi telentang.

Pikiranku saat itu benar-benar kosong, sehingga aku tidak merasa dirinya ada di dalam mimpi. Semua gelap, dan saat pagi menjelang aku tidak akan sadar kalau hari sudah berganti. Semakin lama diriku terserap dalam kegelapan itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang salah.

Sensasi menggelitik seperti kesemutan menyusuri ujung-ujung kakiku yang. Awalnya aku berpikir kalau itu hanyalah kesemutan biasa, jadi tidak akan terjadi apapun. Perlahan, getaran-getaran itu menjadi semakin hebat sampai membuatku sulit untuk menggerakkan satu incipun tubuh sendiri.

Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Ini mengerikan. Mitos mengatakan kalau aku tengah ketindihan oleh makhluk halus, namun sains menjelaskan kondisi tersebut sebagai kelumpuhan tidur. Apapun yang terjadi, pokoknya aku harus keluar dari keadaan ini. Seluruh bagian tubuhku lama kelamaan terasa sakit seperti keseleo, padahal jelas aku hanya tidur dengan posisi yang sama sejak tadi.

Pemandangan gelap dalam pikiranku berubah menjadi gerakan-gerakan gambar yang mengganggu dan mengerikan. Telingaku seperti mendengar suara bising yang entah asalnya dari mana. Jelas orang-orang di sini semuanya tidur. Aku benar-benar ketakutan pada malam itu. Namun , aku membiarkan semua hal mengerikan itu terus mengganggu acara tidur malam ini. Aku tak lebih dari orang gila yang tengah berhalusinasi, namun bedanya aku sama sekali tidak mengeluarkan reaksi apapun. Setelah aku mencoba menikmati semua rasa sakit di seluruh persendian, putaran gambar dan suara yang mengerikan, mendadak tubuhku sedikit demi sedikit terasa ringan.

Awalnya memang hanya sekitar lima sampai sepuluh sentimeter dan memang sedikit berat. Tiba-tiba aku merasa, tubuhku seperti melayang dalam waktu sekejap keluar dari kamar sewaanku. Aku tengah melayang di langit malam, mengikuti garis perak yang membimbingku. Kenapa tiba-tiba di langit malam ada garis perak?

Yah, namanya juga mimpi. Semua dapat terjadi dalam mimpi, bukan? Aku sama sekali tidak tahu penerbangan ini akan membawaku ke mana, mungkin saja mengikuti arah angin dan rasi bintang penunjuk jalan. Mungkin saja ia akan membawaku pulang ke kampung halaman atau menemui seseorang.

Ini saja sudah cukup aneh menurutku, melayang-layang tanpa tujuan di langit malam. Kejadian selanjutnya akan lebih absurd lagi. Ada suatu kecelakaan hebat yang membuat tubuhku yang tengah melayang tertarik dengan kencang. Rasanya seperti tubuhku menjadi meriam manusia yang ditembakkan pada saat perang zaman dulu atau batu yang biasanya menjadi peluru ketapel.

Benar saja, aku tiba-tiba "terpental". Mataku melirik lingkungan sekitarku, tidak ada kumpulan gedung atau rumah. Tidak ada jalanan macet. Tidak ada jalur hijau atau hutan lebat. Yang ada hanyalah cahaya lampu neon samar-samar dan suara-suara aneh. Mimpi membawaku tempat yang belum kukenal.

Ke mana mimpi ini membawa aku pergi?

#NulisRandom2015

Kamis, 11 Juni 2015

day 11: a woman's dilemma

Para wanita itu memandangku dengan tatapan mata yang seakan mengatakan bahwa: "aku orang aneh". Di kala mereka mencari pria di layar sinema untuk membuktikan kecantikan dan kepopuleran, aku malah ambisius mengejar cita-citaku.

Mereka bilang kalau tidak punya pacar yang tampan dan kaya sama dengan tidak dapat hidup. Bodoh? Bukan kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Mereka sangat masokis, mau saja disakiti oleh laki-laki.

Tidak denganku. Aku wanita yang sama sekali tidak peduli dengan kisah cintanya sendiri. Ambisi, hal yang selama ini kukejar untuk mengalihkan perhatianku soal percintaan menjijikkan itu. Sejak kecil aku selalu diajarkan untuk mengejar ilmu dan amal, bukan cincin yang melingkar di jari manis.

Di sisi lain, wanita di tempat lain memandangku jijik. Katanya aku sama seperti wanita-wanita bodoh di tempatku masa sekarang yang mau melakukan apapun demi mendapatkan seorang lelaki. Aku tidak mau disamakan dengan para wanita tidak punya harga diri itu. Mereka yang sampai merebut cinta sejati dari tangan empunya, dan menorehkan kisah tragis di hidup banyak orang.

Beritahu aku, berapa nilai yang bisa kuberi bagi wanita sepertiku? Seorang wanita mandiri yang hidup di tengah-tengah wanita murahan dan bodoh yang mudah jatuh cinta, semudah membalikkan telapak tangan mereka.

#NulisRandom2015

Selasa, 09 Juni 2015

day 10: bourgeoisie

Di dalam benakku sudah tertanam konsep yin dan yang. Manusia hanya dikelompokkan dalam dua hal yang saling berlawanan. Dilihat dari sudut pandang ekonomi, hanya ada orang kaya dan miskin. Daerah abu-abu alias kelas menengah tidak ada dalam kamusku, karena semata-mata itu hanyalah konstruksi pikiran manusia. Aku tidak mau menambah jumlah sekat dalam stratifikasi ekonomi umat manusia.

Bicara soal kaya dan miskin, kita sering mendengar apa yang mereka sebut dengan konflik kelas. Kaum miskin itu merasa selama ini mereka dipandang rendah dan dimanipulasi oleh si kaya. Perasaan diremehkan itu membuat mereka melakukan perlawanan.

Cih! Kami tidak pernah meremehkan orang miskin. Orang kaya sudah berusaha berlaku adil pada mereka. Tapi mereka saja yang sering menyalahkan kekayaan yang kami dapatkan itu berasal dari mana. Belum tentu kita kaya karena korupsi atau bisnis gelap, kan?

Sudah bagus kami mau menolong, tapi mereka selalu menyalahpahamkan kami. Lama kelamaan tidak ada gunanya segala yang kami berikan untuk mereka. Perlawanan yang mereka lakukan sama sekali tidak ada gunanya menurutku.

Tanpa disadari, mereka semakin pandai membuat perlawanan. Keterbukaan akses terhadap pendidikan membuat mereka mencari cara perlawanan yang lebih lembut, halus dan menghanyutkan. Aku sendiri juga tidak menyadari revolusi kelas di zaman ini juga mengalami perkembangan.

Ada sebuah sekat transparan antara aku dan mereka. Untuk berteman saja dirasa sulit karena hidup dalam dunia kelas atas itu diibaratkan seperti hidup dalam gelembung karena sulit bagimu untuk turun ke bawah. Begitu juga dengan kelas bawah. Apalagi kalau dua hati dari kelas atas dan bawah saling bertemu satu sama lain. Itu menurutku sangat mustahil.

Kau pikir statusmu akan naik dengan menikahi orang yang lebih kaya? Secara ekonomi iya, tapi secara sosial mereka akan memandangmu sebagai orang yang dulu sempat jadi miskin. Kalau hal itu sampai terjadi, akan berujung pada sebuah skandal antara kita berdua.

Aku selalu memandang tatapanmu yang lembut dan penuh sayang itu sebagai godaan untuk menarikku dalam skandal romansa. Kau benar-benar mengeluarkan aku dari gelembung itu, dan melepaskanku dari jerat moralitas dan tanggung jawab sebagai salah satu empunya segala. Hal ini mungkin saja berakhir dengan kau yang meninggalkan aku sendiri, kedinginan dan telanjang. Sepeninggalmu, kau membawa segala emas berlian milikku untuk kau jual.

Kalau kau benar-benar mencintaiku, mungkin kau harus berlutut dan mencium jempol kakiku. Agar kau tahu siapa sebenarnya dirimu di hadapanku.

#NulisRandom2015

day 9: alienation

Sudah entah berapa tahun lamanya aku menyukai dinamika dan menggambarkan bagaimana kisah romantis sesama pria. Ini sekedar kulakukan hanya untuk memuaskan selera pasar saja, dan mengeluarkan ekspresiku dalam bidang seni.

Tapi ada yang mengatakan kalau seni menggambarkan kepribadian seseorang, bukan? Aku mungkin bisa berlagak tangguh dengan kepala sekeras batu, kemampuan untuk melukai dan tensi yang mendadak menjadi tinggi. Istilahnya aku bisa menjadi seorang laki-laki yang (katanya) selalu mendominasi. Entah aku punya kepribadian lain atau bagaimana, aku bisa saja menurunkan tensi sampai tingkat terendah. Menjadi pribadi yang submisif dengan kesabaran, ketaatan dan kelembutan hati.

Benar juga. Kadang aku bisa menjadi seme, di saat yang berbeda sisi uke -ku keluar begitu saja. Ya, intinya aku bisa memainkan dua peran di kisah cinta antar pria. Jangan tanya berapa kali aku pernah menjalin hubungan dengan pria.

Aku berani sumpah kalau aku tidak pernah melakukannya. Ironis, memang.

Kalau aku mau mengutip salah satu konsep teori sosial klasik dari Karl Marx, aku teralienasi dari hasil produksiku sendiri. Bagaimana tidak, aku menggambar mengenai kisah roman antar sesama pria dari panel ke panel. Dan aku sendiri sama sekali belum pernah menjalin hubungan khusus dengan seorang pria, apalagi bersentuhan antara lapisan kulit yang tak terhalang oleh rajutan.

Ironisnya lagi, percintaanku dengan seorang wanita selalu gagal. Kalau tidak berakhir dengan perselingkuhan, mereka hanya akan menganggapku saudara atau teman. Selama ini aku selalu bingung dengan makhluk yang disebut dengan nama wanita mengenai kriteria pria idaman mereka. Aku bisa saja berakhir layaknya para pria imajiner yang lahir dari goresan tintaku.

Ada saatnya aku mengalami titik jenuh di jalan lurus, jadi tidak ada salahnya untuk mencoba berbelok arah. Sekali ini saja mungkin. Sepertinya, bagian bawah tubuhku sedang sulit menentukan ke arah mana ia akan menuju.

#NulisRandom2015

Minggu, 07 Juni 2015

day 7: fangirl

Gadis yang baru menginjak usia kepala dua itu tengah memeriksa peringatan di aplikasi WhatsApp di telepon gengggamnya. Isinya selalu sama, teman-teman yang menagih tugas-tugas dengan deadline yang dapat dikatakan tidak manusiawi. Kapan dia punya waktu untuk dirinya sendiri kalau begini caranya?

Resiko menjadi mahasiswa sekaligus gadis penggemar memang seperti ini. Selain belajar, gadis itu juga menghabiskan waktu luangnya untuk menikmati paras tampan dan cantik para idolanya. Paras tampan dan cantik? Gadis itu tanpa sadar sudah berbelok ke arah lain karena selain mengagumi pria tampan, ia juga terkadang memuji kecantikan wanita.

Memangnya siapa perempuan di dunia ini yang tidak ingin memiliki tubuh seindah Alessandra Ambrossio, secantik Dakota Johnson, atau semanis Mao Inoue? Apalagi ditambah pacar setampan aktor Hollywood atau drama serial Korea dan Jepang.

Pikirannya seperti terbagi menjadi dua bagian. Di satu sisi ia memikirkan tumpukan paper ujian akhir semester yang belum juga dikerjakannya. Otaknya tidak kuat lagi untuk memikirkan apa yang akan ditulisnya. Dua makalah kelompok, satu makalah pribadi dan satu esai. Masih lebih baik ia harus mengumpulkan makalah saja, ada satu matakuliah yang juga memaksanya untuk ikut ujian dalam kelas. Bukannya tidak tahu cara mengerjakannya, tetapi ia selalu bingung mau menulis apa di lembaran MS Word itu. Dosen-dosen ini rempong amat. Apa sebenarnya selama ini ia terdampar di tempat yang salah? Belum lagi ia harus mengerjakan rancangan sampul proposal penelitian kuantitatif. Intinya dia banyak pekerjaan.

Di sisi pikirannya yang lain, nampak para pria tampan dan wanita cantik yang tengah lalu lalang. Ya, mereka yang hanya menjadi bahan fantasinya di alam mimpi semata dan tidak akan pernah ia sentuh. Para incubus dan succubus berkedok idola panggung itu mengeluarkan tatapan mata dan senyuman seduktif dalam foto-foto. Manusia-manusia berparas menggemaskan maupun menawan tengah berpose sugestif, seakan mereka akan melakukan hal yang sama dengan apa yang diceritakan di fiksi-fiksi penggemar.

Mungkin mencari asupan mengenai "hubungan" antara para idola panggung itu, bisa membuat pikirannya segar kembali untuk mengerjakan tugas paper yang menumpuk. Siapa tahu saja foto-foto erotis di majalah AnAn atau momen-momen di mana pairing favoritnya berpose imut bisa membakar semangatnya kembali untuk membuat makalah mengenai konflik elit politik di Poso.

#NulisRandom2015

Jumat, 05 Juni 2015

day 6: different ways to date

Menunggu memang merupakan hal yang paling membosankan sedunia. Dinda tengah duduk di sebuah bangku kayu di tepi jalan sambil menggoyang-goyangkan kedua kakinya. Sepasang mata cokelat tua itu tengah memeriksa situasi dan kondisi di sekitarnya. Yah, untuk memastikan kalau orang yang ditunggunya akan datang. Masih saja tidak ada tanda-tanda kehadiran orang itu di sini.

Tidak biasanya ia terlambat, malahan perempuan itu yang sering sekali ngaret.

Seketika perhatian Dinda teralih pada gerombolan anak perempuan yang tengah memukuli seorang anak perempuan berkulit pucat. Keterkejutannya membuat perempuan itu gelap mata, dan melupakan bahwa ia ke sini karena ada janji kencan sore ini. Persetan dengan kencan, ia tidak suka dengan pemandangan semacam ini. Menyulut emosi saja.

Ya, ampun. Di mana pun peristiwa seperti ini tidak lekang dari matanya. Tidak hanya di Indonesia saja, tapi di sini juga ada. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran orang lain mengenai kehidupan di luar negeri itu lebih baik, sepenuhnya salah. Bullying, kejahatan, pelecehan seksual dan lainnya, terjadi kapanpun dan dimanapun.

Mata perempuan muda itu menatap prihatin pada si anak yang sejak tadi dipukuli itu. Perasaan takut disalahpahamkan muncul dalam otaknya, di sisi lain memang ia kasihan pada anak itu. Tidak terbayang berapa kali dalam seminggu orang-orang memperlakukannya seperti itu. Sudah begitu tempat ini sedang sepi-sepinya, dan orang-orang di sini sangat individualis seakan sibuk dengan urusannya sendiri.

Rasa kesal menguasai Dinda saat melihat  pemandangan tersebut. Perempuan muda itu menyelempangkan tasnya, kemudian berjalan cepat mendekati tiga orang anak yang sedang melakukan pemukulan terhadap anak perempuan malang tersebut. Ketiga anak tersebut menghentikan kegiatannya karena merasa ada yang diam-diam mengawasi mereka selama beberapa menit.

"Kamu ngapain ngelihatin kita kayak gitu? Ada yang salah?" tanya salah satu anak perempuan yang berambut cokelat panjang sambil menatap wanita muda itu seakan jijik padanya.

"Jelas, kalian harusnya belajar yang benar. Bukan memukuli teman kalian seperti itu." ucap wanita muda berambut panjang sepunggung itu ketus. Gadis berkulit pucat itu mengeluarkan tatapan mata yang sedikit bahagia dalam keadaannya yang tengah sulit bergerak, melihat kedatangan seorang asing dari Samaria yang akan menolongnya itu.

"Jangan ikut campur urusan kami, Nona sok baik." ketus salah seorang anak perempuan berambut pirang yang tengah memukuli si anak itu. Sok baik? Dia hanya tidak suka melihat perempuan yang tengah diperlakukan tidak baik. Ironisnya lagi, pelakunya sesama anak perempuan.

"Sekarang saya tanya, apa dasarnya kalian melakukan itu?" desis Dinda marah.

"Dia jahat! Dia telah merebut pacarku." ucap si anak perempuan yang berambut cokelat itu. Dinda hanya dapat mengelus dada mendengar alasan anak itu. Tidak masuk akal. Padahal sebenarnya si anak ini belum tentu benar-benar merebut pacar si tukang bully.

"Masak begitu saja sampai dipukuli?"

"Kau tidak bisa menghalangi kami, sialan! Kembalilah pada urusanmu, ini bukan urusan orang dewasa." ujar salah satu gadis tersebut sambil mendekati Dinda dan mendorongnya sampai jatuh ke tanah. Untung saja jalan tersebut sedang sepi, jadi yang melihat hanya segelintir orang lewat.

"Tidak sopan!" ujar Dinda kesal sambil berusaha bangkit dari tanah dan perempuan itu menepuk-nepuk kedua lututnya yang kotor karena debu. Merasa kesal, perempuan muda itu memukul bagian perut salah satu anak itu. Melihat temannya diserang, dua anak yang lain ikut menyerang balik.

Ia terus menangkis serangan tiga orang anak yang tengah menunjukkan wajah agresif di depannya. Sementara si anak perempuan berkulit pucat sebaya mereka yang masih berusaha untuk bangkit berdiri berteriak-teriak untuk melarang si perempuan muda itu untuk cari mati dengan melawan anak-anak itu.

"Kumohon! Mereka berbahaya, Kak! Jangan nekat!" ujar anak perempuan berkulit pucat yang tampak ketakutan itu. Dinda tidak peduli akan teriakan si anak itu dan terus melancarkan serta menangkis serangan. Tindakan perempuan muda itu memang nekat, mustahil bagi seseorang yang berpostur kurus kecil untuk mengalahkan tiga orang remaja putri yang posturnya lebih besar darinya. Tapi Dinda yakin kalau orang-orang ini sama sekali tidak mengerti soal ilmu bela diri manapun.

Saat perempuan muda itu tengah melancarkan serangan dengan melayangkan tinju ke wajah salah satu anak, ia merasa sedikit kesulitan karena lama kelamaan mereka semakin agresif. Kalau sudah begini, makin sulit baginya untuk menangkis serangan yang bertubi-tubi itu.

Ini sangat sulit, ia harus berpikir sejenak untuk menyelesaikan semua ini. Perempuan itu memutuskan untuk menendang bagian perut remaja putri yang menyerangnya balik, namun baru saja ia mau melakukan serangan tubuhnya terasa ditarik ke belakang oleh seseorang. Selanjutnya ia merasa tubuhnya didorong ke arah samping.

Matanya mengenali sosok yang tadi mengeluarkannya dari rasa terdesak dan kemudian membantunya memberi pelajaran pada remaja-remaja itu. Dialah pria yang sejak tadi ditunggunya, yang tengah melayangkan pukulan dan tendangan pada dua orang anak yang tadi belum sempat dia lumpuhkan. Karena diusir oleh laki-laki itu dan merasa takut terkena serangan lagi, anak-anak itu kemudian meninggalkan tempat tersebut.

"Maaf ya, Din. Aku nggak biasanya telat. Ada urusan. Duh, kamu ada-ada saja. Berantem, kok ngelawan remaja-remaja labil?" tanya laki-laki itu sambil mengernyitkan dahi setelah membereskan semua "urusan".

"Aku kasihan sama anak ini, Toshiro. Dia dari tadi dipukulin melulu, mana itu anak-anak kurang ajar lagi. Bikin emosi gak, sih?" jawab Dinda seadanya sambil menatap mata si gadis berkulit pucat itu. Laki-laki itu menatap mata si gadis tanpa nama sejenak lalu mengulurkan tangannya ke arahnya untuk membantu gadis itu berdiri.

"Badan kamu banyak luka dan lebam, sebaiknya lukanya diobati dulu." ucap Toshiro pada si gadis remaja.

"Nggak apa-apa, Kak. Aku masih kuat jalan pulang." kata si gadis yang belum diketahui namanya itu.

"Ini harus diobati dulu, nanti infeksi." ucap Toshiro lembut pada gadis itu. Dinda hanya bisa menghela nafas melihat tingkah kekasihnya yang memang terlalu gentle kalau sama perempuan. Laki-laki itu meminta si gadis remaja duduk di sebuah bangku, kemudian ia mengeluarkan kotak obat-obatan pribadi dari tas selempang yang dipakainya. Satu kata buat Toshiro, niat.

"Aku benar-benar minta maaf, Tou. Gara-gara aku, acara kita jadi gagal." ucap Dinda pelan.

Pria berparas Asia Timur yang tengah mengobati si gadis remaja hanya bisa menyungging senyum lalu berkata, "Sekali-kali kita harus mencoba cara berkencan yang beda, Din."

#NulisRandom2015

Kamis, 04 Juni 2015

day 5: perks of having a double life

Bagi Aozora Kato, kehidupan merupakan suatu rutinitas yang sangat membosankan. Dipikir punya kehidupan ganda itu enak? Tidak sama sekali, melelahkan memang merupakan hal yang sudah pasti. Setiap pagi sampai siang, ia adalah seorang mahasiswa biasa yang harus menjalani perkuliahan dan mengerjakan tugas yang menumpuk dari dosen.

Pada malam hari dan akhir pekan,  dia berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia bukan lagi Aozora yang dikenal di mata teman-teman dan keluarganya sebagai seorang mahasiswa berhati malaikat.

"Tangannya disilangin di dada, kaki kiri pindahin ke belakang. Jangan lihat kamera."

Klik!

Di depan layar berwarna putih, sang pemuda bertubuh tinggi itu mengikuti apa yang diinstruksikan oleh seorang wanita di depannya. Sudah tiga setengah tahun lamanya dia harus bekerja seperti ini. Berpose di depan kamera kesannya memang mudah, tapi kau tidak akan tahu fantasi kotor di kepala orang-orang saat melihat hasil jepretan itu. Melalui gambar-gambar itu ia seakan ditelanjangi dan disentuh oleh tangan-tangan tidak terlihat.

Pemuda manis dan lembut hati itu berubah menjadi sosok yang begitu seduktif dan menggoda siapapun lewat penampilannya. Dapat dikatakan ia seperti jelmaan iblis yang katanya dapat menghisap tenaga orang lain dengan pesonanya.

Sebenarnya itu semua juga bukan keinginannya. Ia adalah pria dewasa yang harus mandiri dan tidak selamanya bergantung pada kiriman uang kedua orang tuanya. Mau tidak mau Aozora harus bekerja keras, untuk membiayai kehidupannya sendiri dan adik laki-lakinya. Pemuda itu juga mendapatkan pekerjaan yang kesannya mudah tapi dengan beban moral yang berat ini juga karena salah seorang temannya diam-diam mendaftarkannya.

Seperti kata pepatah, di dunia ini tidak ada yang gratis. Lembaran-lembaran uang tersebut, ditukarkannya dengan jati diri dan kebebasan yang dimiliki pemuda itu sejak lama. Tapi itu semua tidak apa-apa selama ia mendapatkan pekerjaan itu maupun uangnya dengan cara yang belum masuk kategori tindak kriminal.

Beberapa tahun kemudian, pria itu sudah meninggalkan pekerjaannya. Lembaran uang yang dihasilkan pekerjaan ini memang cukup banyak, namun tidak ada yang abadi. Tidak selamanya ia bisa berpose di depan kamera, pasti mereka mencari wajah-wajah yang lebih muda dan segar untuk disalurkan menjadi bahan fantasi kotor yang baru. Walaupun model laki-laki itu memiliki rentang usia karir yang lebih panjang apabila dibandingkan dengan perempuan.

Ia tidak akan tahu sampai kapan ia dijadikan bahan fantasi kotor atau boneka kaum kapitalis. Pemuda itu ingin menjadi seorang manusia yang bebas dan memiliki kehidupan normal. Aozora yang sudah mendapatkan gelar pendidikan yang tinggi, memutuskan untuk meninggalkan dunia itu dan mengabdikan dirinya pada ilmu. Percuma saja sekolah tinggi-tinggi, tapi tidak bisa mengaplikasikan ilmu yang didapatkannya selama ini.

Aozora masih mendapatkan lembaran uang yang cukup banyak, namun tidak dengan berpose di depan kamera seperti dulu. Sekarang laki-laki itu setiap hari harus berurusan dengan blueprint, rancangan bangunan dan klien yang harus dilayani. Pekerjaan ini memang sedikit sulit dan merepotkan, namun Aozora menyukai pekerjaan barunya. Ia dapat menguatkan imaji personalnya dan kebebasan yang sudah beberapa tahun lamanya direnggut itu seakan sudah  kembali. Walaupun pekerjaan apapun juga sama saja diperbudak, setidaknya ia hanya fokus pada satu urusan.

"Tuan Kato, hari ini ada seorang klien yang ingin menemui Anda." ucap seorang perempuan muda berambut hitam panjang yang diikat ke belakang.

Laki-laki itu mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang menumpuk di atas mejanya dan menatap mata si perempuan muda yang bernama Miho Makimura, salah satu asistennya di kantor itu.

"Persilahkan dia masuk, Nona Makimura." balas laki-laki itu kalem. Perempuan tersebut melangkah ke arah pintu ruangan dan membukanya perlahan. Di ambang pintu, Miho bercakap-cakap sejenak dengan si klien sebelum mempersilahkannya masuk. Beberapa menit kemudian, seorang wanita lain yang penampilannya dapat dikatakan modis masuk ke dalam ruangan tersebut. Aozora heran mengapa perempuan ini yang menemui dia, bukankah Tuan Clarkford yang menelepon beberapa minggu yang lalu itu berjenis kelamin laki-laki kalau didengar dari suaranya? Ditambah, ia sudah pernah berurusan dengan klien ini sebelumnya jadi memang Aozora sudah mengenal wajahnya.

Apa jangan-jangan perempuan ini adalah istri atau saudaranya Tuan Clarkford? Ataukah dia klien yang lain? Dia sama sekali tidak peduli dengan siapa sebenarnya perempuan ini, yang penting urusannya sama klien harus selesai. Perempuan berambut cokelat tua panjang yang digerai begitu saja itu melangkah ke arah meja kerjanya, kemudian menarik kursi dan mendudukkan diri.

"Saya Aozora Kato. Apakah ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya pria itu ramah.

"Perkenalkan, nama saya Feressia Clarkford. Begini, ayah saya menelepon Anda beberapa minggu yang lalu. Beliau sedang banyak urusan jadi...saya yang diminta mewakili beliau untuk menemui Anda." jawab si perempuan muda dengan nada manis yang terkesan dibuat-buat. Oh, jadi perempuan ini putri dari Tuan Clarkford yang tempo hari lalu menelepon? Kalau dilihat-lihat tidak begitu mirip dengan ayahnya.

"Saya mengerti. Jadi, bagaimana kelanjutan proyek yang dibicarakan beliau sebulan lalu itu?" kata pria itu sambil mengaduk-aduk secangkir teh manis yang ada di atas mejanya untuk memulai pembicaraan. Wanita muda di depannya tengah sibuk membuka-buka foldernya untuk menemukan dokumen yang dimaksud, kemudian memperhatikan wajah pria itu sejenak.

Aozora menatap wajah perempuan itu dan menanyakan pertanyaan yang sama sekali lagi, "Bagaimana?"

"Maafkan saya, sepertinya saya pernah melihat wajah Anda sebelumnya...tapi saya tidak begitu ingat di mana." ucap wanita tersebut pelan. Apa Feressia ini maksudnya mau melakukan hal yang disebut dengan modus untuk mendekati Aozora? Aozora yakin, perempuan ini sama sekali tidak pernah melihat wajahnya.

"Maksud Anda?" tanya pria itu bingung.

"Wajah Anda mirip dengan model yang beberapa tahun lalu mempromosikan label fashion terkenal asal Prancis itu. Dan, ya... model itu juga pernah dimasukkan dalam edisi spesial sebuah majalah fashion di Jepang." ucap perempuan itu lagi.

Apakah saking cintanya dia sama dunia fashion sampai hafal bagaimana wajah model-modelnya? Perempuan di depannya ini sangat mencurigakan. Ada kemungkinan Aozora tanpa sadar mengeluarkan tatapan seduktifnya sampai si perempuan ini ingat kalau ia pernah menjadi model dan bingung mengapa tiba-tiba ia bisa bekerja di situ.

"Barangkali wajahnya hanya sekedar mirip saja. Anggap saja kebetulan." ucap pria itu kalem agar Feressia dapat mengalihkan topik ke proyek ayahnya tersebut.

Yah, inilah susahnya punya kehidupan ganda sekaligus pernah menjadi sosok yang fotonya tersebar di mana-mana. Walaupun kau sudah keluar dari kehidupan yang tidak ingin kau ingat lagi, namun masih saja mereka mengingat imaji publikmu yang dipaksakan.

#NulisRandom2015

Rabu, 03 Juni 2015

day 4 : kissmark

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, di mana kebanyakan orang yang tinggal di kamar-kamar sewaan itu sudah terbuai ke alam mimpi. Yah, mungkin ada pengecualian untuk seorang mahasiswa pascasarjana jurusan teknik finansial tahun kedua. Pria muda keturunan Asia Timur itu sedang duduk diam di atas bangku, kedua manik hitamnya mengeluarkan tatapan siap tempur dengan kertas-kertas berpanel yang ada di depannya.

Tangannya sibuk mengsketsa di atas kertas yang dibaginya menjadi beberapa panel. Pekerjaannya itu harus sudah selesai malam ini karena "wanita-wanita busuk" pasti akan menagih hasil pekerjaannya pekan depan. Bisa gawat jadinya, jika mereka nantinya akan mengancam pria muda itu kalau pekerjaan sialan tersebut belum diselesaikannya. Ancaman itu sangat mengerikan baginya, "wanita-wanita busuk" yang dikenalnya itu pasti akan memasangkan pria itu dengan teman sekamarnya atau siapapun itu asalkan dia juga berjenis kelamin pria. Kanegawa Toshiro -- nama pria muda tersebut, memang dapat dikatakan manis dan tampan dalam waktu bersamaan apabila dilihat dari penampilannya. Sepasang manik hitam yang menyembunyikan dirinya di dalam lipatan derma yang berwarna tidak begitu pucat, menambah kadar gula pada penampilannya. Dapat dibayangkan kalau Toshiro sedang tersenyum atau tertawa alisnya akan nampak seperti menjadi empat, dan bibir tipisnya yang ditarik kedua pinggirannya membentuk lesung pipit yang khas.

Namun sayang sekali, entah kenapa pria itu jarang tersenyum. Hal itulah yang membuat pria Jepang itu banyak digemari wanita pecinta manga dan anime yang mencari pria berpahat komik untuk dipacari atau pria gay yang mengincar pria bertampang "korban serangan" yang dapat disantap hidup - hidup. Sekarang, Toshiro sedang terlihat serius dengan pekerjaannya menggambar komik homo pesanan "wanita-wanita busuk" di dunia maya, mungkin semakin lama pria itu menciptakan komik homo dia akan menjadi seorang "pria busuk". Walau sedang seriuspun pria itu tetap saja terlihat manis.

"Toshiro, kau belum tidur juga?"

Terdengar sebuah suara beraksen Jerman dengan nada bas dari belakang pria yang sedang sibuk itu.  Pria muda berambut hitam itu menoleh ke belakang, dan nampak sesosok pria lain yang lebih tinggi darinya. Berbeda dengan Toushiro yang merupakan tipe pria pahatan komik, Dieter Eisenschmidt yang kemungkinan adalah teman sekamarnya merupakan tipe pria yang lebih disukai oleh kebanyakan wanita. Pria itu nampak seperti sesosok pangeran tampan dalam dongeng-dongeng yang menceritakan mengenai para putri raja pada zaman Eropa kuno. Wajahnya menonjolkan rahangnya yang kukuh, dihias sepasang netra sewarna dengan langit. Tubuhnya tinggi, tipe yang ideal dan atletis. Berbeda dengan Toshiro yang memiliki tubuh kurus tinggi dan posturnya terkesan ringkih.

"Aku tidak akan tidur sebelum pekerjaanku selesai, Dieter.  Kau tahu, kan aku ini seperti apa?" ujar Toshiro kepada temannya itu.

"Kau ini tidak berubah, Toshiro.  Sejak dulu sifat  keras kepalamu itu tidak pernah hilang. Aku takut kalau penyakitmu itu akan semakin parah." ucap Dieter sambil geleng-geleng kepala dan mengacak-acak rambut hitam pria itu.

"Aku masih kuat, kok...tenang saja." ucap Toshiro pelan.

Dieter hanya cuek saja dan memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan mencoba memejamkan kedua matanya. Toshiro menghela nafasnya saat kedua matanya tertuju pada satu sketsa di sebuah panel dalam kertas putihnya. Tangan kirinya membetulkan poninya yang menutupi dua iris gelapnya dan tangan kanannya menjatuhkan copic pen yang digunakannya dari tadi untuk menebalkan gambar hasil sketsanya. Pria Jepang itu memandangi salah satu panel di mana terlihat ada dua orang laki-laki yang sama-sama menghadap ke samping kiri. Salah satunya nampak menggigit bagian leher yang lain. Kemudian pada panel berikutnya bekas gigitan itu nampak jelas di lehernya.

"Kissmark, ya? Aku sudah berkali-kali menggambar adegan ini tapi aku sendiri belum pernah mendapatkannya." batin pria itu dalam hati.

Dasar pengarang yang teralienasi dari karyanya sendiri. Pertama, dia menggambarkan bagaimana kaum homoseks itu melakukan hubungan seksual.  Sedangkan dia sendiri jangankan pernah melakukan seks dengan sesama laki-laki, homoseks saja bukan. Setidaknya dia masih nafsu melihat seorang wanita yang memakai bikini yang mengekspos tubuh mereka dengan jelas. Berarti dia sama sekali bukan homo, kan?

Dia memutuskan untuk mencoba melakukan hal yang sama dengan apa yang digambarkan di komik itu. Memang ini kurang kerjaan, tapi daripada dia teralienasi dari pekerjaannya sendiri.  Mau bagaimana lagi, coba? Pria itu mencoba menggigit pergelangan tangannya sendiri dan memainkan bibirnya di wilayah itu. Sudah berkali-kali dia melakukan percobaan membuat kissmark, namun mau bagaimana lagi? Hasilnya sia-sia, tidak berubah warna seperti yang tergambar di cerita atau komik. Apa yang di komik itu hanya sekedar idealisme homoseksualitas semata?

Pada akhirnya ia mencoba menggigit dan memainkan lidahnya sendiri di daerah lain yang lebih sensitif. Toshiro memutuskan untuk membuka kaos lengan panjang yang dipakainya dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang agar dia lebih leluasa mencoba membuat kissmark di bagian kulit dekat ketiaknya. Sudah beberapa kali dia mencoba hal tersebut, dan akhirnya muncul ruam-ruam kemerahan di kulitnya.

Dieter yang ternyata belum tidur mengalihkan pandangannya dari telepon genggam layar sentuh ke arah teman serumahnya itu. Mata biru langit itu menatap gerak-gerik Toshiro yang menurutnya sangat aneh dan mencurigakan. Ditambah ia sedang telanjang dada waktu itu. Toshiro sadar apabila sejak tadi teman serumahnya itu mengawasi gerak-geriknya.

"Apa yang kamu lakukan? Mau coba bunuh diri?" tanya Dieter sambil bangkit dari pembaringannya dan duduk di tepian ranjang. Toshiro yang sedang sibuk melakukan percobaan kurang kerjaan itu tersentak mendengar suara Dieter dan mengubah posisi duduknya menjadi bersandar pada dinding kamar.

"Ah...bukan apa-apa. Aku cuma mau belajar gimana cara bikin kissmark. Kenapa nggak sampai biru kayak yang di cerita-cerita itu, ya?" gumam Toshiro ragu-ragu sambil menutupi bagian tangannya yang agak kemerahan karena ulahnya sendiri.

"Apa?" tanya Dieter lagi sambil mengernyitkan dahinya dan menatap wajah Toshiro.

"Cara bikin kissmark."

Dieter hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah temannya yang begitu polos sampai tidak tahu bagaimana bentuk kissmark yang asli. Tatapan mata pria yang berasal dari ras Aria itu seakan meneliti sekujur tubuh Toshiro dari atas sampai bawah. Pria itu merasa terancam dengan tatapan teman serumahnya yang seakan membayangkan dia sedang benar-benar telanjang bulat.

"Dasar kurang kerjaan."

#NulisRandom2015

day 8: aku

Aku adalah orang yang sederhana dan apa adanya
...bukan seperti kau yang hidup dalam gemerlap kemewahan

Aku selalu mencoba mengukir prestasi
...sementara kau kerjanya cuma cari sensasi

Sampai ke titik darah penghabisan perjuanganku untuk mencapai puncak
...sedangkan kau begitu cepat dikenal banyak orang

Aku manusia yang bebas
...kau hanya boneka lusuh yang dimainkan tangan-tangan kotor

Suatu saat aku akan dikenang selamanya
...dan kau akan dilupakan begitu saja

Kau tak peduli siapa aku
Untuk mengenalku saja kau segan
Seakan dunia kita sudah berbeda
Banyak orang mengenalmu
Tapi aku ini siapa? Seorang idola yang gagal mungkin?

Aku bukanlah seorang idola, aku ini manusia
...karena aku bukanlah kau yang tidak bisa kusebut lagi sebagai manusia

#NulisRandom2015

day 3: laundry time

Gadis kecil berusia tujuh tahun itu memang tidak mau membantu kakak laki-lakinya mencuci pakaian. Bukan karena ia malas melakukan pekerjaan kasar, tetapi ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara mencuci pakaian yang entah sudah berapa tumpuk itu. Ada rasa takut ia akan salah melakukannya, dan kena marah kakak angkatnya itu.

Namun, Adinda Swasti Mahira kecil sudah mulai memupuk rasa ingin tahunya mengenai berbagai hal termasuk bagaimana cara mencuci pakaian secara manual. Apalagi di awal kakaknya sudah berjanji untuk mengajarinya. Setidaknya ia tidak akan merepotkan kakak angkatnya dan keahlian Dinda dalam pekerjaan domestik semakin bertambah untuk modal menemui calon suaminya di masa depan.

Tangan mungil gadis kecil itu kini mengambil sehelai kain putih berbentuk segitiga dan ia hanya menatapnya bingung. Dia harus memulainya dari mana kalau untuk bentuk pakaian seperti ini. Mata bundarnya menatap mata kakak laki-lakinya yang berjarak usia 8 tahun darinya sambil terus memegang benda yang ternyata adalah celana dalam laki-laki.

"Koko Alex, kalau ini gimana cara nyucinya?" tanya Dinda pada kakak laki-lakinya yang biasa dia panggil dengan sebutan itu.

"Oh? Celana dalem? Itunya dulu yang digosok." jawab Alex kalem. Dinda hanya dapat memasang raut muka bingung mendengarkan penjelasan kakak angkatnya yang menggosok kemeja sejak tadi.

"Itu yang mana?" tanya gadis kecil itu dengan nada polos. Alex hanya bisa geleng-geleng kepala, memikirkan betapa polosnya adik angkatnya yang bungsu itu.

"Itunya digosok, Dinda. Itu, lho. Yang di bawah perut." ucap remaja laki-laki itu gemas.

Dinda hanya mengangguk pelan tanda mengerti. Yah, dirinya memang selalu dikuasai absurditas orang-orang di sekitarnya. Bahkan ini semua berawal dari keluarga angkatnya sendiri.

Barangkali gadis kecil itu baru tahu apa yang disebut dengan "anu" dan "itu" saat ia mendapatkan pelajaran mengenai alat reproduksi di bangku sekolah nanti. Dan suatu saat dia baru akan benar-benar melihat apa yang di balik celana dalam laki-laki saat ia beranjak dewasa, tepatnya di malam pertama pernikahan dengan calon suaminya di masa depan.

#NulisRandom2015

Senin, 01 Juni 2015

day 2: he's (not that) innocent

Sinar matahari musim panas yang sedikit terik membangunkan Melanie dari alam mimpi. Jemari wanita berambut pirang sepunggung itu mengusap-usap kedua matanya yang hijau. Lelah dan bingung, itulah yang dirasakannya pagi ini.

Kesunyian malam beberapa jam lalu, telah membuat mereka tenggelam jauh dan asyik sendiri. Ya, hubungan mereka yang disembunyikan selama ini telah dihancurkan oleh kebodohan semalam.  Ia ingin pergi karena ia tidak ingin menghancurkan semuanya, namun rasa lelah di sekujur tubuh menghalanginya.

Wanita itu berusaha bangkit sejenak, ditatapnya pria berkulit putih susu yang sejak tadi terbaring di sampingnya. Wajah Nino memang selalu nampak damai saat ia tertidur pulas. Penampilannya yang tidak begitu diperhatikan menciptakan imaji bahwa pria itu seperti anak-anak yang belum begitu peduli untuk mempermak kemasan luarnya. Tangan kanan wanita itu menyibak lembut rambut hitam yang menutupi dahi Nino.

Bentuk alisnya yang berantakan tidak pernah ia ubah semenjak mereka pertama kali bertemu beberapa bulan lalu. Nino selalu mengatakan pada Melanie bahwa ia tidak pernah merasa percaya diri dengan bentuk wajah besar dan sepasang pipi gempal yang dimilikinya. Melanie merasa bahwa fitur khas itu telah membuktikan hipotesis awal yang telah dipikirkannya, yakni ia adalah pria yang begitu sederhana. Di kala orang lain meletakkan banyak make-up bahkan melakukan operasi pada fitur yang jelek tersebut, ia entah kenapa tetap mempertahankannya.

Yah, mungkin karena pria itu memang tidak suka membuang-buang uang untuk hal yang tidak perlu baginya. Melanie sudah cukup tahu kalau penampilan bukanlah kebutuhan dasarnya. Nino memang seorang idola sejati yang berusaha menjadi seperti orang biasa.

Wanita itu membungkuk sejenak dan mengecup dahi Nino. Gemas rasanya, kalau pria yang kelihatannya begitu sederhana, polos dan lugu dapat melakukan hal yang tidak pernah diperkirakan seperti semalam tadi.

Melanie selalu suka kejutan-kejutan tidak terduga yang diberikan pria berwajah manis itu. Sulit bagi wanita itu untuk mengatakan yang sesungguhnya pada Nino, namun isyarat-isyarat yang selama ini ditunjukkan satu sama lain sudah berbicara banyak tentang mereka.

#NulisRandom2015

day 1: dia (spora)

Dia tidak pernah tahu istilah apa yang tepat untuk mendeskripsikan dirinya.

Apakah dia adalah seseorang yang merantau karena kemauan sendiri? Ataukah dia satu dari sekian banyak orang yang meninggalkan tanah kelahiran? Mungkin keduanya.

Butuh waktu baginya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Dia pernah menceritakan padaku bahwa mereka yang belum pernah ke sana, pasti akan beranggapan bahwa tempat ini akan romantis menurut gambar-gambar manis di halaman buku dan majalah. Namun, keberadaannya di sini adalah suatu ancaman tersendiri baginya.

Satu titik di mana dia kehilangan identitasnya sendiri adalah saat ayahku menitipkan pemuda itu di tempatku. Ia yang kukenal, seorang pria muda tangguh yang tetap memegang adat ketimurannya. Dia tak peduli dengan dunia yang semakin terhomogenisasi dengan kultur Barat. Pria muda itu seorang pembelajar yang cepat dan pekerja keras. Terkadang kehausannya akan pengetahuan membuatnya lelah sendiri.

Kuharap kehadiranku membuatnya betah hidup di negeri yang begitu asing baginya.

Dia begitu kuat sampai bersikeras kalau dia mampu menjaga dirinya. Persis dengan anak kecil yang harus kujaga perilakunya agar tidak sesat di tempat yang katanya neraka ini. Aku memperlakukan dia seakan seperti saudaraku sendiri. Kularang dia melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan normanya. Sayangnya, keinginanku untuk menjaga pemuda yang rapuh di dalam itu malah bertumbuh ke arah sesuatu yang lain.

Pelan-pelan, rasa sayangku padanya merusak dia. Membuat dia meragukan siapa dirinya yang sejati. Aku menaruh hatiku padanya. Tatapan laparku dilontarkan ke arah sepasang obsidian itu, dari ujung rambut sampai kaki. Malam itu, dia mengorbankan segala prinsip yang dipegangnya selama ini.

Semua keteguhan dan kekuatannya sirna sudah pada malam yang tenang itu. Dia mungkin bukan lagi dia yang kukenal. Bisa saja dia sudah melepaskan semua tetek bengek prinsip, norma dan nilai itu.

Dia dan aku berputar-putar dalam sebuah permainan identitas majemuk.

Sampai sekarang dia tidak tahu apa kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya. Seorang perantau, ataukah salah satu dari para perantau?

Dan apa istilah yang tepat untuk menjelaskan tentang aku?

Apakah aku seseorang yang menyediakan rumah baginya sama seperti teman-teman sebangsanya? Ataukah aku hanya membuatnya semakin rapuh dan tersiksa di sini?

#NulisRandom2015